Information About Military Alutsista, Army, War, Weapons, Technology, Navy, Air Force and Army of Developed Countries Such as America, Russia, France, Britain, Israel, China, and the European Union as well as the Defense Alliance as large as NATO, QUAD, AUKUS, BRICS and Many More Thank you for visiting our blog, don't forget to leave a comment
SUBSCRIBE
Saturday, June 28, 2025
US-Iran Tensions Reignite Through Trump's 'Spicy Mouth'
Tuesday, August 8, 2023
Türkiye Opens Bayraktar Drone Factory in Ukraine to Fight Russian Invasion
Türkiye Opens Bayraktar Drone Factory in Ukraine to Fight Russian Invasion.
Turkish-made Bayraktar TB2 drone is seen during a rehearsal for a military parade dedicated to Independence Day, in Kyiv, Ukraine, August 20, 2021.
Ukraine's defense ministry signed an agreement with Turkish drone magnate Baykar Makina to build a drone repair and maintenance service center in Ukraine, a ministry official said Monday 30/07/2023.
Ukraine seeks to increase domestic production of drones to build an “Army of Drones” in its fight against Russian troops that invaded the country in February 2022.
"The establishment of the service center will be a significant contribution to strengthening Ukraine's defense capabilities and will help bring our victory closer," the ministry's state secretary Kostiantyn Vashchenko said in a statement.
Ukrainian manufacturers have sharply increased domestic production of drones. More than 10,000 drone operators have been trained with another 10,000 in training, said Mykhailo Fedorov, deputy prime minister in charge of the "Drone Army" last week.
Both Ukrainian and Russian forces have used a variety of Unmanned Aerial Vehicles (UAVs), commonly known as drones, for reconnaissance and strike purposes during the war.
Ukrainian media reported earlier this month, citing Ukraine's strategic industry minister Oleksandr Kamyshin, that Baykar had started construction of a plant to manufacture Ukraine's famous Bayraktar TB2 UAV.
The Bayraktar TB2, which has been used by Ukraine against the Russian invasion, along with conflicts in Syria, Iraq, Libya and Karabakh, is spearheading Türkiye's global defense export push.
The TB2 is especially popular in Ukraine, where it helps destroy Russian artillery systems and armored vehicles. It even became the subject of an expletive-strewn patriotic hit in Ukraine mocking Russian troops, with a chorus of “Bayraktar, Bayraktar.”
militarymeter.com
Friday, August 4, 2023
Türkiye and Pakistan Launch Fourth Corvette Warship
Türkiye and Pakistan Launch Fourth Corvette Warship
August 3, 2023 A Ziyadi.
Turkey and Pakistan on Wednesday lauded their growing strategic cooperation as they unveiled the last warship designed for the Pakistan Navy as part of a project that has cemented the strong defense ties between Ankara and Islamabad.
PNS Tariq, the fourth and final MILGEM corvette built by Turkey for Pakistan, was unveiled at a ceremony in Pakistan's southern port city of Karachi.
"Beyond its own needs, Turkey is also building ships for many developed countries in the world," Vice President Cevdet Yılmaz said at the ceremony. "Thanks to the capacities we have developed in the defense sector, we have the ability to voluntarily manage the processes in which we are involved, without requiring anyone's approval."
"The establishment of global peace and stability depends on establishing a fair balance in the defense industry," Yılmaz said.
Turkey is always ready to share its knowledge, experience and technology with friendly countries in the defense industry sector, he said, adding, "Our joint project with Pakistan is a good example of this approach."
The MILGEM (National Ship) marine platform project is a Turkish warship program that aims to develop multipurpose corvettes and frigates that can be used in a variety of missions. This includes reconnaissance, surveillance, early warning, anti-submarine warfare, surface-to-surface and surface-to-air warfare, and amphibious operations.
In July 2018, the Pakistan Navy signed a contract for the acquisition of four Ada class ships with ASFAT, a Turkish state-owned defense company. Two of the corvettes are expected to be built in Turkey and another two in Pakistan, in a deal that includes technology transfer.
The first corvette was launched in August 2021, the second in May 2022 and the third in November 2022.
President Recep Tayyip Erdoğan said the project had "crowned our relationship" with Pakistan.
Yılmaz stressed Türkiye's desire to continue cooperating with Pakistan in the defense industry in various fields, including helicopters and aircraft. He said the implementation of these projects will strengthen and consolidate the friendship between the two countries.
Meanwhile, Sharif said Turkey and Pakistan enjoyed a "unique" and "deep" relationship, stressing that it was the "right time" to increase strategic cooperation and add more joint ventures in other areas.
"Today's joint venture project is another example of our commitment to support each other, strengthen each other's industry, trade and enhance our economic cooperation," the prime minister added.
MILGEM corvettes feature advanced surface, subsurface and anti-air weapons and long-range effective sensors, integrated through a sophisticated networked central combat management system.
The anti-submarine combat frigates average 99 meters (325 feet) in length with a displacement of about 24,000 tons and can move at a speed of 29 nautical miles.
The new generation of warships are difficult to track due to their low radar cross section, and will further enhance the Pakistan Navy's defense capabilities.
Turkey is one of only 10 countries in the world that can design, build and maintain warships by leveraging its domestic capabilities.
The MILGEM project began in 2000 to design and build a fleet of multi-purpose corvettes and frigates that would replace older ships.
Turki dan Pakistan Luncurkan Kapal Perang Korvet Keempat
Turki dan Pakistan pada hari Rabu memuji kerja sama strategis mereka yang terus berkembang saat mereka meluncurkan kapal perang terakhir yang dirancang untuk Angkatan Laut Pakistan sebagai bagian dari proyek yang telah memperkuat hubungan pertahanan yang kuat antara Ankara dan Islamabad.
PNS Tariq, kapal korvet MILGEM keempat dan terakhir yang dibangun oleh Turki untuk Pakistan, diresmikan pada sebuah upacara di kota pelabuhan Karachi di selatan Pakistan.
“Di luar kebutuhannya sendiri, Turki juga membangun kapal untuk banyak negara maju di dunia,” kata Wakil Presiden Cevdet Yılmaz pada upacara tersebut. “Berkat kapasitas yang telah kami kembangkan di bidang pertahanan, kami memiliki kemampuan untuk mengelola secara sukarela proses di mana kita terlibat, tanpa memerlukan persetujuan siapa pun.”
“Pembentukan perdamaian dan stabilitas global bergantung pada pembentukan keseimbangan yang adil dalam industri pertahanan,” kata Yılmaz.
Turki selalu siap untuk berbagi pengetahuan, pengalaman, dan teknologinya dengan negara-negara sahabat di sektor industri pertahanan, katanya, seraya menambahkan, “Proyek bersama kami dengan Pakistan adalah contoh yang baik dari pendekatan ini.”
Proyek platform laut MILGEM (Kapal Nasional) adalah program kapal perang Turki yang bertujuan untuk mengembangkan korvet dan fregat multiguna yang dapat digunakan dalam berbagai misi. Ini termasuk pengintaian, pengawasan, peringatan dini, perang anti-kapal selam, perang permukaan-ke-permukaan dan permukaan-ke-udara, dan operasi amfibi.
Pada Juli 2018, Angkatan Laut Pakistan menandatangani kontrak untuk akuisisi empat kapal kelas Ada dengan ASFAT, perusahaan pertahanan milik negara Turki. Dua korvet diperkirakan akan dibangun di Turki dan dua lainnya di Pakistan, dalam kesepakatan yang mencakup transfer teknologi.
Korvet pertama diluncurkan pada Agustus 2021, yang kedua pada Mei 2022, dan yang ketiga pada November 2022.
Presiden Recep Tayyip Erdoğan mengatakan proyek itu telah “memahkotai hubungan kita” dengan Pakistan.
Yılmaz menekankan keinginan Türkiye untuk terus bekerja sama dengan Pakistan di bidang industri pertahanan di berbagai bidang, termasuk helikopter dan pesawat terbang. Dia mengatakan implementasi proyek-proyek ini akan memperkuat dan mengkonsolidasikan persahabatan antara kedua negara.
Sementara itu, Sharif mengatakan Turki dan Pakistan menikmati hubungan yang “unik” dan “mendalam”, menekankan bahwa ini adalah “waktu yang tepat” untuk meningkatkan kerja sama strategis dan menambah lebih banyak usaha patungan di bidang lain.
“Proyek usaha patungan hari ini adalah contoh lain dari komitmen kami untuk saling mendukung, memperkuat industri satu sama lain, memperdagangkan, dan meningkatkan kerja sama ekonomi kami,” tambah perdana menteri.
Korvet MILGEM menampilkan senjata permukaan, bawah permukaan, dan anti-udara canggih serta sensor efektif jarak jauh, terintegrasi melalui sistem manajemen tempur pusat jaringan yang canggih.
Fregat tempur anti-kapal selam rata-rata memiliki panjang 99 meter (325 kaki) dengan kapasitas perpindahan sekitar 24.000 ton dan dapat bergerak dengan kecepatan 29 mil laut.
Kapal perang generasi baru sulit dilacak karena penampang radar mereka yang rendah, dan selanjutnya akan meningkatkan kemampuan pertahanan Angkatan Laut Pakistan.
Turki adalah satu dari hanya 10 negara di dunia yang dapat merancang, membangun, dan memelihara kapal perang dengan memanfaatkan kemampuan domestiknya.
Proyek MILGEM dimulai pada tahun 2000 untuk merancang dan membangun armada korvet dan fregat serbaguna yang akan menggantikan kapal yang lebih tua.
MKE Yavuz – Turkish-Produced Self Propelled Howitzer With MAN 6×6 Truck Platform
MKE Yavuz – Turkish-Produced Self Propelled Howitzer With MAN 6×6 Truck Platform
indomilitary| 04/08/2023
Not limited to producing tracked self-propelled howitzers (SPH) Firtina, Turkey, which achieved success in its defense industry, also developed and produced SPH wheeled tires in caliber 155 mm, which was labeled Yavuz 6×6. Launched at IDEF 2017 in Istanbul. Apart from complementing the arsenal of the Turkish Army, Yavuz is currently in the process of negotiating for acquisition by Malaysia and Brazil.
Yavuz is manufactured by a state-owned defense company – the Mechanical and Chemical Industry Corporation (MKE). Like the SPH CAESAER 6×6 made in France which is operated by the Indonesian Army, Yavuz is designed to respond to the needs of the Turkish armed forces for a new type of howitzer that offers high mobility with the ability to deploy quickly.
MKE Yavuz is based on the German MAN 6×6 military truck chassis with a 155/52 mm howitzer mounted at the rear of the chassis. In fact, the howitzer used comes from the Panter 155 mm truck-mounted howitzer, which is also produced by MKE and is already in Turkish military operations, even the Panter has also been used by Pakistan.
The MKE Yavuz was developed based on the chassis and engine of a commercial MAN 6x6 truck converted for use for military applications, but the cab and layout were completely designed by MKE and Yol-Bak.
A double cab located aft of the MKE Yavuz 155mm 6x6 self-propelled howitzer can accommodate a crew of five, including driver, commander, gunner and two loaders. The crew cab is fully armored to provide protection against small arms fire and artillery projectile splinters.
MKE Yavuz is equipped with a semi-automatic loading system. In one operation, Yavuz can carry a total of 18 munitions stored in storage boxes located on each side of the truck chassis. The howitzer on the Yavuz can fire projectiles up to a maximum range of 40 km.
It only took 60 seconds for the Yavuz crew to fire the first shot, and in the hands of trained personnel, up to six shots were fired in one minute. MKE Yavuz combat weight is 20 tons.
With the MAN 6×6 truck platform, Yavuz can travel up to 60 km per hour and travel up to 600 km. (Glang Prime)
MKE Yavuz – Self Propelled Howitzer Produksi Turki Dengan Platform Truk MAN 6×6
indomiliter | 04/08/2023
Tak sebatas memproduksi self propelled howitzer (SPH) tracked – roda rantai Firtina, Turki yang mencapai gemilang dalam industri pertahanannya, juga mengembangkan dan memproduksi SPH wheeled – roda ban di kaliber 155 mm, yang diberi label Yavuz 6×6. Diluncurkan pada ajang IDEF 2017 di Istanbul. Selain melengkapi arsenal Angkatan Darat Turki, Yavuz saat ini tengah dalam proses negosiasi untuk diakuisisi oleh Malaysia dan Brasil.
Yavuz diproduksi oleh perusahaan pertahanan milik pemerintah – Mechanical and Chemical Industry Corporation (MKE). Seperti halnya SPH CAESAER 6×6 buatan Perancis yang dioperasikan TNI AD, Yavuz dirancang guna menanggapi kebutuhan angkatan bersenjata Turki pada jenis howitzer baru yang menawarkan mobilitas tinggi dengan kemampuan penyebaran secara cepat.
MKE Yavuz didasarkan pada sasis truk militer MAN 6×6 buatan Jerman dengan howitzer kaliber 155/52 mm yang dipasang di bagian belakang sasis. Sejatinya, howitzer yang digunakan berasal dari truk-mount howitzer Panter 155 mm, yang juga diproduksi oleh MKE dan sudah dalam operasional militer Turki, bahkan Panter juga telah digunakan oleh Pakistan.
MKE Yavuz dikembangkan berdasarkan sasis dan mesin truk MAN 6×6 komersial yang dikonversi untuk digunakan untuk aplikasi militer, tetapi kabin dan tata letaknya sepenuhnya dirancang oleh MKE dan Yol-Bak.
Kabin ganda terletak di bagian depan howitzer self-propelled MKE Yavuz 155mm 6×6 yang mampu menampung awak yang terdiri dari lima orang, termasuk pengemudi, komandan, penembak dan dua loader. Kabin awak sepenuhnya berlapis baja untuk memberikan perlindungan terhadap tembakan senjata kecil dan serpihan proyektil artileri.
MKE Yavuz dilengkapi dengan sistem pemuatan munisi semi-otomatis, Dalam sekali beroperasi, Yavuz dapat membawa total 18 munisi yang disimpan di kotak penyimpanan yang terletak di setiap sisi sasis truk. Howitzer pada Yavuz dapat menembakan proyektil sampai jarak maksimum 40 km.
Hanya dibutuhkan waktu 60 detik untuk awak Yavuz melakukan tembakan pertama, dan di tangan personel yang terlatih, dalam satu menit dapat dilakukan sampai enam kali penembakan. Berat tempur MKE Yavuz adalah 20 ton.
Dengan platform truk MAN 6×6, Yavuz dapat melaju sampai kecepatan 60 km per jam dan menjelajah hingga 600 km. (Gilang Perdana)
Vympel RVV-MD2 – Short Range Air-to-Air Missile With Inertial Control For Sukhoi Su-57 Felon
Vympel RVV-MD2 – Short Range Air-to-Air Missile With Inertial Control For Sukhoi Su-57 Felon
indomilitary| 04/08/2023
If the F-22 Raptor and F-35 Lightning II stealth fighter jets rely on the AIM-9X as a short-range air-to-air missile, then the Kremlin's stealth champion, Sukhoi Su-57 Felon also has a rival, namely the Vympel RVV-MD, an air-to-air missile. infrared guided short range (two band infrared seeker) housed in the weapon bay. And regarding the RVV-MD, there has been news recently that a new variant has been developed, codenamed RVV-MD2.
If the RVV-MD has been claimed as the latest air-to-air missile, then the RVV-MD2 is clearly even more powerful, and is referred to by global defense equipment observers as the 'Super Missile'. So what makes the RVV-MD2 worthy of being the new mainstay of the Su-57?
According to a report from Ria Novosti, disclosure about the development of the RVV-MD2 is being made by the Moscow-based JSC GosMKB Vympel which is designing the latest generation of air-to-air missiles. About RVV-MD2 was disclosed in an article published in the magazine “Arsenal of the Fatherland.”
The article asserts that Russia has achieved a significant five to ten year advantage over the United States in developing fifth-generation air-to-air missiles, which are currently in production.
The new RVV-MD2 is the successor to the RVV-MD short-range “air-to-air” missile. This new missile has several advantages that Russian media claim will be very effective and lethal in aerial warfare. Victor Murakhovsky, editor-in-chief of Arsenal of the Fatherland magazine and military expert, explained that the RVV-MD2 is the world's first short-range missile that incorporates an inertial control system.
This system is designed to control and stabilize the missile during autonomous flight. The inertial system operates on the principle of a missile independently determining its coordinates in space without relying on external targeting or signals. Sensors on the missile calculate its position based on previously known positions, enabling the missile to navigate and maneuver accurately in its flight trajectory.
The RVV-MD2 has a radio correction line that allows the aircraft to correct target coordinates. This improvement significantly increases the chances of successfully engaging and hitting enemy aircraft during combat.
Compared to the previous version, the RVV-MD2 now uses a multi-element multi-band infrared seeker with better immunity to jamming attempts. The advanced homing head enables the RVV-MD2 to engage targets effectively from all angles, including targets at the rear of the aircraft.
In other words, the RVV-MD2 can be launched forward, maneuver in the air, and successfully hit enemy aircraft following behind the Su-57, further increasing its combat capability. However, details about the planned integration of the missile into the Su-57 fleet and its overall production scale have yet to be announced.
using infrared guidance (two band infrared seekers) combined with gas/aerodynamic control, making this 106 kg missile able to pursue targets from various angles. Of the weight that reaches 106 kg, 8 kg of which are warheads.
The RVV-MD is not only designed to hit fighter jets, transport aircraft and helicopters, more than that, the RVV-MD was designed by the Vympel Design Bureau to destroy cruise missiles, it can even destroy targets that emit radiation on the surface, such as radar stations.
The missile, which is powered by a single-mode solid fuel rocket motor, can certainly be used in day and night conditions, and is equipped with anti-jamming technology.
RVV-MD is capable of traveling at Mach 2.5 speed, this missile can pursue a maximum target of 40 km, and is at least effectively fired from a distance of 300 meters. Regarding the launch height, the RVV-MD can be launched at altitudes ranging from 20 meters to 20,000 meters. The RVV-MD can operate effectively from any direction, day or night, in challenging electronic countermeasures (ECM) environments.
With the RVV-MD2 which brings these advanced features and improvements, it promises to increase the combat capability of the Su-57 fighter jet even further. (Glang Prime)
Vympel RVV-MD2 – Rudal Udara Ke Udara Jarak Dekat Dengan Kontrol Inersia Untuk Sukhoi Su-57 Felon
indomiliter | 04/08/2023
Bila jet tempur stealth F-22 Raptor dan F-35 Lightning II mengandalkan AIM-9X sebagai rudal udara ke udara jarak pendek, maka jawara stealth Kremlin, Sukhoi Su-57 Felon juga punya tandingannya, yakni Vympel RVV-MD, rudal udara ke udara jarak pendek berpemandu infrared (dua band infrared seeker) yang ditempatkan dalam weapon bay. Dan terkait RVV-MD, belum lama ada kabar bahwa telah dikembangkan varian barunya yang diberi kode RVV-MD2.
Bila RVV-MD sudah diklaim sebagai rudal udara ke udara mutakhir, maka RVV-MD2 jelas lebih hebat lagi, dan oleh para pengamat alutsista global disebut sebagai ‘Super Missile’. Lantas apa yang membuat RVV-MD2 layak menjadi andalan baru pada Su-57?
Menurut sebuah laporan dari Ria Novosti, pengungkapan tentang pengembangan RVV-MD2 tengah dilakukan oleh JSC GosMKB Vympel yang berbasis di Moskow dan tengah merancang rudal udara ke udara generasi terbaru. Tentang RVV-MD2 diungkapkan dalam sebuah artikel yang diterbitkan di majalah “Arsenal of the Fatherland.”
Artikel tersebut menegaskan bahwa Rusia telah mencapai keunggulan yang signifikan selama lima hingga sepuluh tahun dibandingkan Amerika Serikat dalam mengembangkan rudal udara-ke-udara generasi kelima, yang mana saat ini telah mencapai tahap produksi.
RVV-MD2 baru adalah penerus rudal “udara-ke-udara” jarak pendek RVV-MD. Rudal baru ini memiliki beberapa keunggulan yang diklaim media Rusia akan sangat efektif dan mematikan dalam peperangan udara. Victor Murakhovsky, pemimpin redaksi majalah “Arsenal of the Fatherland” dan pakar militer, menjelaskan bahwa RVV-MD2 adalah rudal jarak pendek pertama di dunia yang menggabungkan sistem kontrol inersia.
Sistem ini dirancang untuk mengontrol dan menstabilkan rudal selama penerbangan otonom. Sistem inersia beroperasi berdasarkan prinsip rudal yang secara mandiri menentukan koordinatnya di angkasa tanpa bergantung pada penanda (targeting) atau sinyal eksternal. Sensor pada rudal menghitung posisinya berdasarkan posisi yang diketahui sebelumnya, memungkinkan bagi rudal untuk menavigasi dan bermanuver secara akurat dalam lintasan penerbangannya.
RVV-MD2 memiliki garis koreksi radio yang memungkinkan pesawat memperbaiki koordinat target Peningkatan ini secara signifikan meningkatkan kemungkinan berhasil menyerang dan mengenai pesawat musuh selama pertempuran.
Dbandingkan versi sebelumnya, maka RVV-MD2 kini menggunakan infrared seeker multi-elemen multi-band dengan kekebalan terhadap upaya jammimg yang lebih baik. Dengan homing head canggih memungkinkan RVV-MD2 untuk menyerang target secara efektif dari semua sudut, termasuk sasaran di bagian belakang pesawat.
Dengan kata lain, RVV-MD2 dapat diluncurkan ke depan, bermanuver di udara, dan berhasil mengenai pesawat musuh yang mengikuti di belakang Su-57, yang selanjutnya meningkatkan kemampuan tempurnya. Namun, rincian tentang rencana integrasi rudal ke dalam armada Su-57 dan skala produksi keseluruhannya belum diumumkan.
mengadalkan pemandu infrared (dua band infrared seeker) yang dikombinasi dengan gas/aerodynamic control, menjadikan rudal 106 kg ini dapat mengejar sasaran dari beragam sudut. Dari bobot yang mencapai 106 kg, 8 kg di antaranya adalah hulu ledak.
RVV-MD bukan hanya dirancang untuk menghantam sasaran jet tempur, pesawat angkut dan helikopter, lebih dari itu, RVV-MD dirancang oleh Vympel Design Bureau untuk menghancurkan rudal jelajah, bahkan dapat pula menghancurkan sasaran yang memancarkan radiasi di permukaan, seperti stasiun radar.
Rudal yang ditenagai single-mode solid fuel rocket motor ini, dipastikan dapat digunakan dalam kondisi siang dan malam hari, serta telah dilengkapi teknologi anti jamming.
RVV-MD mampu melesat dengan keceatan Mach 2.5, rudal ini dapat mengejar sasaran maksimum sejauh 40 km, dan minimal efektif ditembakan dari jarak 300 meter. Soal ketinggian luncur, RVV-MD dapat diluncurkan di ketinggian mulai dari 20 meter sampai 20.000 meter. RVV-MD dapat beroperasi secara efektif dari segala arah, siang atau malam, di tengah lingkungan penanggulangan elektronik (ECM) yang menantang.
Dengan RVV-MD2 yang membawa fitur dan peningkatan canggih ini, maka menjanjikan peningkatan kemampuan tempur jet tempur Su-57 lebih jauh lagi. (Gilang Perdana)
K239PL Homar-K Self Propelled Variant of MLRS K239 Chunmoo Purchased by Poland From South Korea
K239PL Homar-K – Self Propelled Variant of MLRS K239 Chunmoo Purchased by Poland From South Korea
Flashback to 27 August 2022, Poland announced the procurement of the self-propelled MLRS K239 Chunmoo 8x8 from Hanwha Corporation, South Korea. However, Poland does not necessarily buy the weapon system in its 'original' form. Because it buys in large quantities, Poland requires the use of domestic components in the procurement of K239 Chunmoo. One of them is the replacement of the launcher truck platform.
The MLRS K239 Chunmoo 8x8 (original) uses the Doosan Infracore K239L 8x8 truck platform, while Poland requests the truck platform to use the Jelcz P882 8x8. Apart from using domestically made trucks, the MLRS, which was acquired from South Korea, will also adopt the Topaz fire control system made in Poland. With the change in specifications above, the K239 Chunmoo 8x8 variant for Poland is then labeled K239PL Homar-K.
As is the case with the FA-50 Fighting Eagle tactical fighter jet procurement project which was relatively fast for Poland, so is the case for the K239PL Homar-K. After three Jelcz P882 8x8 trucks arrived in South Korea, on 7 June 2023, Homar-K has been launched by Hanwha. And as quoted from the Global Defense Insight Twitter account, at the end of July the K239PL Homar-K successfully completed a mobility test in Changwon, South Korea.
According to the agreement between South Korea and Poland, 218 Homar-K units will be built in South Korea, and the remaining 70 will be built in Poland. Delivery of the first batch of K239PL Homar-K to the Polish Army will take place in early August.
The K239PL Homar-K carries two launch pods capable of firing rockets of different calibers. It can fire K33 130 mm caliber unguided rockets (20 rockets to each pod), 227 mm unguided rockets (6 rockets to each pod), and 239 mm guided rockets (6 rockets to each pod).
The 130 mm rockets have a range of 36 km, while the larger 230 mm rockets have a range of around 80 km for the non-guided, and 160 km for the guided variants. The 239 mm rocket has a length of 3.96 meters and is guided by GPS/INS with two operating modes, namely impact bursting to fight personnel and delayed bursting to destroy bunkers. Two different types of rocket pods can be loaded at once and the modular containers can be reloaded quickly.
Procurement of self-propelled MLRS in large quantities and fast delivery periods cannot be separated from Poland's needs over concerns over the effects of the Russo-Ukrainian war. (Glang Prime)
K239PL Homar-K – Varian Self Propelled MLRS K239 Chunmoo Yang Dibeli Polandia Dari Korea Selatan
Kilas balik ke 27 Agustus 2022, Polandia mengumumkan pengadaan self propelled MLRS K239 Chunmoo 8×8 dari Hanwha Corporation, Korea Selatan. Namun, Polandia tak serta merta membeli sistem senjata dalam bentuk ‘asli’. Lantaran membeli dalam jumlah besar, Polandia mensyaratkan penggunaan komponen dalam negeri pada pengadaan K239 Chunmoo. Yang salah satunya berupa penggantian platform truk peluncur.
MLRS K239 Chunmoo 8×8 (asli) menggunakan platform truk Doosan Infracore K239L 8×8, sementara Polandia meminta platfom truk menggunakan Jelcz P882 8×8. Selain menggunakan truk buatan dalam negeri, MLRS yang diakuisisi dari Korea Selatan ini juga akan mengadopsi sistem pengendalian tembakan Topaz buatan Polandia. Dengan perubahan spesifikasi di atas, varian K239 Chunmoo 8×8 untuk Polandia kemudian diberi label K239PL Homar-K.
Seperti halnya pada proyek pengadaan jet tempur taktis FA-50 Fighting Eagle yang terbilang cepat untuk Polandia, maka pun demikian untuk K239PL Homar-K. Setelah tiga truk Jelcz P882 8×8 tiba di Korea Selatan, pada 7 Juni 2023, Homar-K telah diluncurkan oleh Hanwha. Dan seperti dikutip dari akun Twitter Global Defense Insight, pada akhir Juli lalu K239PL Homar-K telah sukses menuntaskan mobility test di Changwon, Korea Selatan.
Sesuai perjanjian antara Korea Selatan dan Polandia, 218 unit Homar-K akan dibangun di Korea Selatan, dan 70 sisanya akan dibangun di Polandia. Pengiriman batch perdana K239PL Homar-K ke Angkatan Darat Polandia akan dilakukan pada awal Agustus ini.
K239PL Homar-K membawa dua pod peluncuran yang mampu menembakkan roket dengan kaliber berbeda. Ini dapat menembakkan roket tanpa pemandu K33 kaliber 130 mm (20 roket ke setiap pod), roket tanpa pemandu 227 mm (6 roket ke setiap pod), dan roket berpemandu 239 mm (6 roket ke setiap pod).
Roket 130 mm memiliki jangkauan 36 Km, sedangkan roket kaliber 230 mm yang lebih besar memiliki jangkauan sekitar 80 Km untuk yang tidak berpemandu, dan 160 Km untuk varian berpemandu. Roket 239 mm memiliki panjang 3,96 meter dan dipandu GPS/INS dengan dua mode operasi, yaitu ledakan tumbukan (impact bursting) untuk melawan personel dan ledakan tunda (delay bursting) untuk menghancurkan bunker. Dua jenis pod roket yang berbeda dapat dimuat sekaligus dan wadah modular dapat dimuat ulang dengan cepat.
Pengadaan self propelled MLRS dalam jumlah besar dan periode pengiriman yang cepat, tak bisa dilepaskan dari kebutuhan Polandia atas kekhawatiran terimbas perang Rusia-Ukraina. (Gilang Perdana)
Thursday, August 3, 2023
Pakistan And Azerbaijan Join Kaan's (Turkish) Stealth Fighter Jet Program
Pakistan And Azerbaijan Join Kaan's (Turkish) Stealth Fighter Jet Program
indomilitary| 03/08/2023
Operating a fifth-generation fighter can be likened to a dream and a need. In fact, it's not enough for a country to just have a big budget to be able to buy stealth fighter jets like the F-35 Lightning II. Because it is full of sophisticated technology and is considered sensitive, there are sales restrictions that cannot be separated from political affairs. And when KAAN (formerly TF-X) was successfully launched by Turkey, it opened up opportunities for third world countries to later 'taste' the advantages of stealth fighter jets.
And regarding the development of KAAN produced by Turkish Aerospace Industries (TAI), there are reports that Pakistan and Azerbaijan have joined Turkey's fifth-generation stealth fighter jet program.
On December 27 this year, it is planned that KAAN will fly for the first time with the support of artificial intelligence technology in it. Quoted from propakistani.pk, it is said that the KAAN development program has received significant support from Pakistan and Azerbaijan, which have officially joined the program, signifying a new era cooperation in the aviation sector.
Collaboration between Pakistan and Turkey was further strengthened by the signing of a contract between Pakistan Aeronautical Complex (PAC) Kamra and Turkish Aerospace Industries (TAI). This agreement outlines the joint development of various airworthy equipment, strengthens ties and encourages the exchange of technological know-how between the two countries.
The entry of Pakistan and Azerbaijan into the KAAN stealth aircraft project has opened up new possibilities for sharing expertise and resources. As part of the collaboration, several KAAN subsystems will be manufactured in Pakistan, leading to the establishment of a joint production line. This strategic move not only reduces the overall financial burden, but can also increase production, ensuring the timely completion of the aircraft.
The KAAN stealth fighter jet is expected to be a game-changer, with advanced stealth capabilities that will allow it to operate undetected in hostile airspace. Its AI amalgamation adds another dimension to its already impressive features, making it a formidable force in modern aerial warfare.
KAAN, originally planned to make its maiden flight with Turkish engines in 2028, with its first flight on 27 December 2023, will exceed expectations by reaching the milestone ahead of schedule. Development of KAAN began in 2010, although there were some setbacks and delays along the way. However, the development process rapidly accelerated in 2019, especially when Turkey was kicked out by the US from the F-35 Lightning II stealth fighter jet program.
With a wingspan of around 21 meters, the aircraft boasts impressive performance capabilities, being able to reach a maximum speed of Mach 1.8 thanks to its twin engines, each developing 29,000 pounds (13,000 kg) of thrust.
Recent KAAN photos show exhaust nozzles similar to those found on a different General Electric F110 model. SavunmaSanayiST notes that the aircraft moved independently during the most recent taxii test, indicating that the General Electric F110 engine was successfully integrated.
As a fifth-generation fighter, the KAAN was carefully developed by TAI with the primary aim of replacing Turkey's aging F-16 fleet, demonstrating Turkey's commitment to advancing its air defense capabilities. (Glang Prime)
Pakistan Dan Azerbaijan Bergabung Dalam Program Jet Tempur Stealth (Turki) KAAN
indomiliter | 03/08/2023
Mengoperasikan pesawat tempur generasi kelima bisa diibaratkan antara idaman dan kebutuhan. Faktanya, suatu negara tidak cukup hanya punya anggaran besar untuk bisa membeli jet tempur stealth seperti F-35 Lightning II. Lantaran sarat teknologi canggih dan dinilai sensitif, maka ada pembatasan penjualan yang tak bisa dilepaskan dari urusan politik. Dan ketika KAAN (d/h TF-X) sukses diluncurkan oleh Turki, maka terbuka peluang bagi negara dunia ketiga untuk kelak ‘mencicipi’ keunggulan jet tempur stealth.
Dan terkait pengembangan KAAN yang diproduksi Turkish Aerospace Industries (TAI), ada kabar bahwa Pakistan dan Azerbaijan telah bergabung dalam program jet tempur stealth generasi kelima Turki.
Pada 27 Desember tahun ini, rencananya KAAN akan terbang perdana dengan dukungan teknologi kecerdasan buatan di dalamnya.Dikutip dari propakistani.pk, disebut bahwa program pengembangan KAAN mendapat dukungan signifikan dari Pakistan dan Azerbaijan, yang secara resmi telah bergabung dalam program tersebut, menandakan era baru kerja sama di sektor penerbangan.
Kolaborasi antara Pakistan dan Turki semakin diperkuat dengan penandatanganan kontrak antara Pakistan Aeronautical Complex (PAC) Kamra dan Turkish Aerospace Industries (TAI). Perjanjian ini menguraikan pengembangan bersama berbagai airworthy equipment, memperkuat ikatan dan mendorong pertukaran pengetahuan teknologi antara kedua negara.
Masuknya Pakistan dan Azerbaijan dalam proyek pesawat siluman KAAN telah membuka kemungkinan baru untuk berbagi keahlian dan sumber daya. Sebagai bagian dari kolaborasi, beberapa subsistem KAAN akan diproduksi di Pakistan, yang mengarah pada pembentukan jalur produksi bersama. Langkah strategis ini tidak hanya mengurangi beban keuangan secara keseluruhan, tetapi juga dapat meningkatkan produksi, memastikan penyelesaian pesawat tepat waktu.
Jet tempur stealth KAAN diharapkan menjadi game-changer, dengan kemampuan siluman canggih yang memungkinkannya beroperasi tanpa terdeteksi di wilayah udara yang bermusuhan. Penggabungan AI-nya menambah dimensi lain pada fitur-fiturnya yang sudah mengesankan, menjadikannya kekuatan yang tangguh dalam peperangan udara modern.
KAAN, awalnya direncanakan untuk melakukan penerbangan perdananya dengan mesin Turki pada tahun 2028, dengan kabar terbang perdana pada 27 Desember 2023, maka akan melampaui ekspektasi dengan mencapai tonggak sejarah lebih cepat dari jadwal. Pengembangan KAAN dimulai pada tahun 2010, meskipun ada beberapa kemunduran dan penundaan di sepanjang jalan. Namun, proses pengembangan dengan cepat meningkat pada 2019, terutama ketika Turki didepak oleh AS dari program jet tempur stealth F-35 Lightning II.
Dengan lebar sayap sekitar 21 meter, pesawat ini menawarkan kemampuan kinerja yang mengesankan, mampu mencapai kecepatan maksimum Mach 1,8 berkat mesin kembarnya, masing-masing menghasilkan daya dorong 29.000 pound (13.000 kg).
Foto KAAN terbaru memperlihatkan nozel knalpot yang serupa dengan yang ditemukan pada model General Electric F110 yang berbeda. SavunmaSanayiST mencatat bahwa pesawat bergerak secara independen selama uji taxii terbaru, menunjukkan bahwa mesin General Electric F110 berhasil diintegrasikan.
Sebagai pesawat tempur generasi kelima, KAAN dikembangkan dengan cermat oleh TAI dengan tujuan utama menggantikan armada F-16 Turki yang sudah tua, menunjukkan komitmen Turki untuk memajukan kemampuan pertahanan udaranya. (Gilang Perdana)
Murad AESA Radar (Turkey) Potentially Match AN/APG-83 SABR For F-16 Viper Upgrade
Murad AESA Radar (Turkey) Potentially Match AN/APG-83 SABR For F-16 Viper Upgrade.
The Turkish Air Force through the Ozgur program will carry out a major upgrade of its F-16 fighter jet fleet to the 'Viper' standard. What's interesting about the Ozgur program is that several important components on the fighter are supplied by domestic companies. And one component that has received great attention is the adoption of the Murad AESA (Active Electronically Scanned Array) radar produced by Aselsan.
Of course, the upgrade of the F-16 using non-US components requires approval from Washington, which for this permission was obtained by a difficult 'struggle' at the level of bilateral lobbying. However, the point that can be observed from the adoption of the Murad AESA radar is that Northrop Grumman has the potential to get a rival in the marketing of the AESA radar for the F-16 Block 72 Viper.
As is known, the AESA radar package for the F-16 Viper based on standard specifications refers to Northrop Grumman AN/APG-83. Northrop Grumman calls the AN/APG-83 the SABR (Scalable Agile Beam Radar) label, which is a radar that has greater bandwidth, speed, agility and offers pilots fifth-generation radar combat capabilities.
Quoting a source from savunmasanayist.com (2/8/2023), it was stated that the first flight test of the F-16 Block 30 with the Murad radar will begin in September 2023, where currently there are two Turkish Air Force F-16s that are in the process of system integration, including installation of the mission computer in the Ozgur program.
In terms of appearance and design, the Murad and AN/APG-83 SABR are relatively similar, because they were specifically designed to adapt the typical F-16 radome shape.
Aselsan designed the Murad AESA radar not only for the F-16, but also for the Akinci combat drone (UCAV) and the KAAN stealth fighter jet (formerly – TF-X). The Murad radar was built using the latest Gallium Nitride (GaN) technology. This multifunctional radar is capable of carrying out air-to-air, air-to-ground and air-to-sea missions simultaneously and has the ability to serve electronic warfare (electronic warfare).
With GaN technology, the Murad radar has a higher power efficiency, which means it can produce more power output with lower power consumption. This makes it suitable for radar applications where high power requirements and better heat resistance are required. GaN technology enables Murad to achieve greater transmitter power, better heat resistance, and more accurate search and track performance in a variety of combat situations.
Other specifications of the Murad have not been released, such as the detection range of the radar. For comparison, the AN/APG-83 SABR has a detection range of 120 km, while target identification can be carried out at a distance of 84 km. Simultaneously, this radar can track more than 20 targets, including engaging in warfare in beyond visual range and maritime modes.
It is not yet known which one is superior, whether Murad or SABR. If Murad is able to match the performance of the AN/APG-83, it will be a big achievement for Aselsan. About export potential? Seeing the large market for upgrading the older F-16 series to the Viper standard, there is a great opportunity to market the Murad to countries using the F-16.
But again, for export matters related to products (aircraft) made in the US, it is certain that all phases must get a 'green light' from Washington. (Bayu Pamungkas)
Radar AESA Murad (Turki) Berpotensi Tandingi AN/APG-83 SABR Untuk Upgrade F-16 Viper
Angkatan Udara Turki lewat program Ozgur akan melakukan upgrade besar-besaran pada armada jet tempur F-16 ke standar ‘Viper’. Yang menarik dari program Ozgur adalah beberapa komponen penting pada pesawat tempur tersebut dipasok oleh perusahaan dalam negeri. Dan salah satu komponen yang mendapat perhatian besar adalah adopsi radar AESA (Active Electronically Scanned Array) Murad yang diproduksi oleh Aselsan.
Sudah barang tentu, upgrade atas F-16 dengan menggunakan komponen non-AS memerlukan persetujuan dari Washington, yang untuk izin ini didapatkan dengan ‘perjuangan’ yang tak mudah di tingkat lobi bilateral. Namun, poin yang bisa dicermati dari adopsi radar AESA Murad adalah Northrop Grumman berpotensi mendapatkan saingan dalam pemasaran radar AESA untuk F-16 Block 72 Viper.
Seperti diketahui, paket radar AESA untuk F-16 Viper berdasakan spesifikasi standar mengacu pada Northrop Grumman AN/APG-83. Northrop Grumman menyebut AN/APG-83 dengan label SABR (Scalable Agile Beam Radar), yaitu radar yang memikiki bandwidth, kecepatan, kelincahan yang lebih besar dan menawarkan pilot kemampuan tempur radar generasi kelima.
Mengutip sumber dari savunmasanayist.com (2/8/2023), disebutkan bahwa uji terbang perdana F-16 Block 30 dengan radar Murad akan dimulai pada bulan September 2023, di mana saat ini ada dua unit F-16 AU Turki yang tengah dalam proses integrasi sistem, termasuk instalasi komputer misi dalam program Ozgur.
Dari segi tampilan dan desain, antara Murad dan AN/APG-83 SABR relatif serupa, karena dirancang khusus menyesuaikan bentuk radome F-16 yang khas.
Aselsan merancang radar AESA Murad tidak hanya untuk F-16, melainkan juga untuk drone tempur (UCAV) Akinci dan jet tempur stealth KAAN (d/h – TF-X). Radar Murad dibangun menggunakan teknologi terbaru Gallium Nitride (GaN). Radar multifungsi ini mampu melakukan misi udara-ke-udara, udara-ke-darat, udara-ke-laut secara simultan dan memiliki kemampuan meladeni peperangan elektronik (electronic warfare).
Dengan teknologi GaN, maka radar Murad memiliki efisiensi daya yang lebih tinggi, yang berarti dapat menghasilkan lebih banyak daya output dengan konsumsi daya yang lebih rendah. Ini membuatnya cocok untuk aplikasi radar dengan kebutuhan daya tinggi dan ketahanan panas yang lebih baik. Teknologi GaN memungkinkan Murad untuk mencapai daya pemancar yang lebih besar, ketahanan panas yang lebih baik, serta kinerja pencarian dan pelacakan yang lebih akurat dalam situasi pertempuran yang beragam.
Spesifikasi lain dari Murad belum dirilis, seperti berapa jarak jangkau deteksi dari radar. Sebagai perbandingan, AN/APG-83 SABR punya jarak jangkau deteksi 120 km, sementara identifikasi sasaran dapat dilakukan di jarak 84 km. Dalam waktu simultan, radar ini dapat melacak lebih dari 20 sasaran, termasuk meladeni peperangan dalam moda beyond visual range dan maritime mode.
Belum diketahui mana yang lebih unggul, apakah Murad atau SABR. Bila Murad mampu menyamai kinerja AN/APG-83, itu sudah merupakan prestasi besar bagi Aselsan. Tentang potensi ekspor? Melihat besarnya pasar upgrade F-16 seri lawas ke standar Viper, maka ada peluang besar memasarkan Murad ke negara-negara pengguna F-16.
Namun kembali lagi, untuk urusan ekspor yang terkait dengan produk (pesawat) buatan AS, maka dipastikan semua fase harus mendapatkan ‘lampu hijau’ dari Washington. (Bayu Pamungkas)
Delay' Delivery of F-16 Viper, Becomes One Reason for Taiwan to Upgrade Mirage 2000-5
Delay' Delivery of F-16 Viper, Becomes One Reason for Taiwan to Upgrade Mirage 2000-5
Referring to the news last May, it was stated that the Taiwan Ministry of Defense was considering options to upgrade or replace the Mirage 2000-5 fighter jets. One of the reasons for this consideration was because of the age of the delta wing fighter jet which was getting old. Later strengthened the option to upgrade, but it turned out that it had something to do with the F-16 Viper.
Quoted from focustaiwan.tw (31/7/2023), Taiwan's move to upgrade the Mirage 2000-5 due to delays in the scheduled delivery of F-16 Block 70 Viper fighter jets (66 units purchased recently) from Lockheed Martin. There was no mention of the reason for the delay experienced by Lockheed Martin. However, several aircraft manufacturers, despite being flooded with orders, are also facing problems in the component supply chain, one of which is the impact of the war in Ukraine.
Due to the delay in the delivery of the F-16 Viper, in order to maintain combat readiness, Taiwan will then modernize the Mirage 2000-5 fighter jets. Taiwan in this case plans to test the possibility of upgrading nine of the 54 Mirage 2000-5 fighter jets to extend their operational life. This has been announced by the Taiwan Air Force Command Headquarters.
All nine upgradeable Mirage 2000-5s are tandem seat variants, allowing them to be used for combat and training missions.
The Taiwan Air Force is currently working with Dassault Aviation to evaluate the possibility of further upgrades for the operation of the Mirage 2000-5 for the next 20 years. The study will last until July 2026, and will cost around US$4.77 million.
The Mirage 2000s was Taiwan's premier fighter in the 90s. From the initial 60 units, now there are 54 aircraft units still operating after six were damaged in an accident.
For maintenance matters, Taiwan has a maintenance service agreement with France that expires in 2026. The Taiwanese government has asked Dassault to upgrade the Mirage 2000 several times. However, there are allegations that due to pressure from Beijing – the French company is said to have demanded a high price for the upgrade costs of the Mirage 2000.
In the purchase package for 60 Mirage 2000-5 units - consisting of 48 Mirage 2000-5EI (single seat) and 12 Mirage 2000-5DI (tandem seats), the Taiwan Air Force also received 460 units of Magic missiles and 960 units of Mica missiles. Taiwan has allocated US$16.7 million to the National Chung-Shan Institute of Science and Technology to extend the life of the French short-range air-to-air missile.
The Taiwan Air Force is also currently pursuing an upgrade target of 141 F-16s with a value of NT$110 billion (US$4.56 billion), all of which will be converted to the Viper standard. In addition, Taiwan is also in the process of procuring 66 (new) F-16 Viper fighter jets with a value of US $ 8 billion. Overall, Taiwan will operate 200 more F-16s. The upgrade program for the 142 F-16 A/B units is carried out by the Aerospace Industrial Development Corp (AIDC), and all upgrade processes are scheduled to be completed in 2023. (Gilang Perdana)
Gegara ‘Delay’ Pengiriman F-16 Viper, Jadi Satu Alasan Taiwan Upgrade Mirage 2000-5
Merujuk ke pemberitaan bulan Mei lalu, disebutkan Kementerian Pertahanan Taiwan tengah mempertimbangkan opsi untuk melakukan upgrade atau mengganti jet tempur Mirage 2000-5. Pertimbangan tersebut dikemukakan salah satunya karena usia jet tempur bersayap delta itu yang telah menua. Belakangan menguat opsi untuk melakukan upgrade, tapi ternyata itu ada kaitan dengan F-16 Viper.
Dikutip dari focustaiwan.tw (31/7/2023), langkah Taiwan untuk melakukan upgrade atas Mirage 2000-5 karena adanya keterlambatan pada jadwal pengiriman jet tempur F-16 Block 70 Viper (66 unit dibeli baru) dari Lockheed Martin. Tidak disebutkan alasan keterlambatan yang dialami Lockheed Martin. Namun, beberapa pabrikan pesawat meski kebanjiran order juga menghadapi masalah pada rantai pasokan komponen, yang salah satunya imbas dari perang di Ukraina.
Atas keterlambatan pengiriman F-16 Viper, guna menjaga kesiapan tempur, kemudian Taiwan akan memodernsasi jet tempur Mirage 2000-5. Taiwan dalam hal ini berencana untuk menguji kemungkinan meningkatkan sembilan unit dari 54 unit jet tempur Mirage 2000-5 untuk memperpanjang usia operasional. Hal ini telah diumumkan oleh Markas Besar Komando Angkatan Udara Taiwan.
Kesembilan Mirage 2000-5 yang dapat akan di-upgrade adalah varian kursi ganda (tandem seat), yang memungkinkan untuk digunakan untuk misi pertempuran dan pelatihan.
Angkatan Udara Taiwan saat ini telah menggandeng Dassault Aviation untuk mengevaluasi kemungkinan upgrade lebih jauh untuk pengoperasian Mirage 2000-5 hingga 20 tahun mendatang. Studi ini akan berlangsung hingga Juli 2026, dan akan menelan biaya sekitar US$4,77 juta.
Mirage 2000-an adalah pesawat tempur utama Taiwan pada era 90-an. Dari awalnya 60 unit, kini ada 54 unit pesawat masih beroperasi setelah enam mengalami kerusakan dalam kecelakaan.
Untuk urusan perawatan, Taiwan memiliki perjanjian layanan pemeliharaan dengan Perancis yang berakhir pada tahun 2026. Pemerintah Taiwan telah meminta Dassault untuk melakukan upgrade Mirage 2000 beberapa kali. Tetapi, ada dugaan karena tekanan dari Beijing – perusahaan Perancis itu dikatakan telah menuntut harga tinggi untuk biaya upgrade Mirage 2000.
Dalam paket pembelian 60 unit Mirage 2000-5 – terdiri dari 48 Mirage 2000-5EI (single seat) dan 12 Mirage 2000-5DI (tandem seat), AU Taiwan juga mendapatkan 460 unit rudal Magic dan 960 unit rudal Mica. Taiwan telah mengalokasikan dana US$16,7 juta kepada National Chung-Shan Institute of Science and Technology, untuk memperpanjang usia rudal udara-ke-udara jarak pendek buatan Perancis itu.
AU Taiwan saat ini juga tengah mengejar target upgrade 141 unit F-16 dengan nilai NT$110 miliar (US$4,56 miliar), yang kesemuanya akan diubah ke standar Viper. Selain itu, Taiwan juga sedang dalam proses pengadaan 66 jet tempur F-16 Viper (baru) dengan nilai US$8 miliar. Secara keseluruhan, Taiwan akan mengoperasikan 200 unit lebih F-16. Program upgrade ke-142 unit F-16 A/B dilaksanakan oleh Aerospace Industrial Development Corp (AIDC), dan semua proses upgrade dijadwalkan tuntas pada tahun 2023. (Gilang Perdana)
Wednesday, August 2, 2023
Former Russian President Dmitry Medvedev Threatens To Use Nukes If Ukraine's Counterattack Advances
Former Russian President Dmitry Medvedev Threatens To Use Nukes If Ukraine's Counterattack Advances.
Former Russian President Dmitry Medvedev, who frequently threatened Europe with nuclear missiles because of the Ukraine war, said on Sunday that Moscow must use nuclear weapons if the ongoing Kyiv counteroffensive manages to break through Russia.
Medvedev, who is deputy chairman of the Russian Security Council, a body chaired by President Vladimir Putin, said in a message on his official social media account that Russia would be forced to withdraw from its own nuclear deal if such a scenario unfolded.
"Imagine if...Ukraine's military offensive, supported by NATO, is successful and they tear off a piece of our land then we will be forced to use nuclear weapons as per the decree of the Russian president." Medvedev said.
Medvedev credited Russia with establishing that nuclear weapons could be used as a response to aggression against Russia carried out using conventional weapons that threaten the Russian state.
Currently Ukraine is trying to reclaim its sovereign territory that was unilaterally annexed by Russia and declared part of its own territory, a move condemned by Kyiv and much of the West.
Kremlin critics have in the past accused Medvedev of making extreme statements in an attempt to dissuade Western countries from continuing to supply Ukraine with weapons.
Mantan Presiden Rusia Ancam Gunakan Nuklir Jika Serangan Balik Ukraina Semakin Maju.
Mantan Presiden Rusia Dmitry Medvedev, yang sering mengancam Eropa dengan rudal nuklir karena perang Ukraina, mengatakan pada hari Minggu bahwa Moskow harus menggunakan senjata nuklir jika serangan balasan Kyiv yang sedang berlangsung berhasil menerobos Rusia.
Medvedev, yang merupakan wakil ketua Dewan Keamanan Rusia, sebuah badan yang diketuai oleh Presiden Vladimir Putin, mengatakan dalam sebuah pesan di akun media sosial resminya bahwa Rusia akan dipaksa untuk mundur dari perjanjian nuklirnya sendiri jika skenarionya seperti itu.
“Bayangkan jika.. serangan militer Ukraina yang didukung oleh NATO, berhasil dan mereka merobek sebagian tanah kami maka kami akan dipaksa untuk menggunakan senjata nuklir sesuai aturan keputusan dari presiden Rusia.” Ujar Medvedev.
Medvedev menyebut Rusia yang menetapkan bahwa senjata nuklir dapat digunakan sebagai tanggapan atas agresi terhadap Rusia yang dilakukan dengan menggunakan senjata konvensional yang mengancam negara Rusia.
Saat ini Ukraina mencoba untuk merebut kembali wilayah kedaulatannya yang telah dianeksasi secara sepihak oleh Rusia dan dinyatakan sebagai bagian dari wilayahnya sendiri, sebuah langkah yang dikutuk oleh Kyiv dan sebagian besar Barat.
Kritikus Kremlin di masa lalu menuduh Medvedev membuat pernyataan ekstrem dalam upaya menghalangi negara-negara Barat untuk terus memasok senjata ke Ukraina.
Not Just Research, China Installs Underwater Acoustic Devices In The Arctic Ocean Under
Not Just Research, China Installs Underwater Acoustic Devices In The Arctic Ocean
Under the pretext of carrying out underwater research activities, China has carried out transoceanic exploration far from its territory. Even though it was carried out in international waters, it is no doubt that what Beijing has done has worried the United States and its allies, namely regarding China's intelligence efforts to detect and monitor the movements of US submarines.
After research efforts carried out in the Pacific, Indian and Atlantic oceans, China has since 2021 begun exploring underwater research in the US' "back yard", namely in the Arctic ocean. For the record, the Arctic ocean, located in the northern hemisphere and mostly in the Arctic region of the North Pole, is the smallest and shallowest of the five oceans in the world.
What China is doing in the Arctic region is deploying what it calls 'Listening Devices.' Although China's territory is not directly linked to the Arctic ocean, Beijing has declared its intention to become a major power in the Arctic by 2030. The Arctic Ocean so far borders Russia , United States, Canada, Norway, and Denmark – the so-called Arctic Circle.
The South China Morning Post recently broadcast a report about China attempting to deploy an acoustic device in the Arctic after successfully testing and evaluating its underwater listening device.
The report cites a study published in the Chinese Journal of Polar Research which says: “Acoustic information collected by planned large-scale listening networks can be used in a variety of applications, including subglacial communication, navigation and positioning, target detection. and reconstruction of marine environmental parameters.”
“That is for scientific purposes, but all such things serve a dual purpose,” said an Indian expert on the Arctic region. Observers of the Arctic region feel that acoustic instruments play an important role in understanding climate change in the Arctic because oceanographic data from the Arctic Ocean, particularly from the deep sea, are scarce.
But the data can also be used to track submarine movements and understand marine ecosystems to chart new routes – both below and above the surface.
The Shanghai-based Polar Research Institute of China is currently conducting research at the poles with several instruments, but most importantly a vector hydrophone with multiple sensors arranged in different orientations to measure pressure and the motion of sound wave particles.
The world above 66 degrees latitude has remained difficult for most of human existence, hindering large-scale trade. Explorers, speculators, and scientists have long believed that a rich treasure trove of resources and shipping routes is hidden beneath the Arctic ice and snow. But deathly cold, debilitating darkness and great distances have hindered any exploitation of the resource.
However, the unknown depths of the North Pole were soon charted, making their navigation a breeze sooner rather than later.
The agency emphasized that because the region is sensitive to climate change, sound pressure data can be used to track whales, seals and other sound-producing sources. The horizontal and vertical vibrations of water particles can help scientists understand ocean conditions such as currents, waves and the ocean floor.
During the test, the Chinese research institute used American communications satellite services. However, China's polar listening network will likely turn to the BeiDou satellite for communications.
Countries around the world are struggling to strengthen their foothold in the polar regions as global warming rapidly melts the polar ice caps, changing the environment drastically. Mutual distrust is driving the world's great powers to increase their civilian and military involvement in the North Pole.
The 10-year Arctic Strategy released by the White House in 2022 calls for deterring increased Russian and Chinese activity in the region.
Russia has since 2013 updated and activated hundreds of Soviet-era bases in the region. The US said that Russia is implementing new air and coastal defense missile systems and upgrading submarines, and increasing military exercises and training operations with a new combat command equivalent to the Arctic.
Russia is far ahead in its goal of strengthening Arctic navigation. It currently has 51 icebreakers compared to five functioning ships in the US. Given that China does not have direct access to the Arctic region, it is highly likely that China's intelligence mission in the North Pole will utilize Russian facilities. (Bayu Pamungkas)
Bukan Sekedar Riset, Cina Pasang Perangkat Akustik Bawah Air Di Samudra Arktik
Dengan dalih melakukan kegiatan penelitian bawah laut, Cina telah melakukan eksplorasi lintas samudra yang jauh dari wilayah teritorialnya. Meski dilakukan di perairan internasional, tak ayal apa yang dilakukan Beijing telah membuat gelisah Amerika Serikat dan sekutunya, yakni terkait upaya intelijen Cina untuk mendeteksi dan memantau pergerakan kapal selam AS.
Setelah usaha penelitian yang dilakukan di samudra Pasifik, Hindia sampai Atlantik, Cina sejak tahun 2021 mulai merambah penelitian bawah laut di ‘halaman belakang’ AS, yakni di samudra Arktik. Sebagai catatan, samudra Arktik, berlokasi di belahan utara bumi dan kebanyakan berada di wilayah Arktik Kutub Utara, yang merupakan samudra terkecil dan terdangkal di antara lima samudra di dunia.
Yang dilakukan Cina di kawasan Kutub Utara adalah menyebarkan apa yang disebut ‘Listening Devices.’ Meski wilayah Cina tak terkait langsung dengan samudra Arktik, tetapi Beijing telah menyatakan niatnya untuk menjadi kekuatan besaaar di Kutub Utara pada tahun 2030. Samudra Arktik sejauh ini berbatasan dengan Rusia, Amerika Serikat, Kanada, Norwegia, dan Denmark – yang disebut sebagai Lingkar Arktik.
South China Morning Post belum lama ini menyiarkan laporan tentang Cina yang berusaha menyebarkan perangkat akustik di Kutub Utara setelah berhasil menguji dan mengevaluasi perangkat pendengar bawah airnya.
Laporan tersebut mengutip sebuah penelitian yang diterbitkan dalam Chinese Journal of Polar Research yang mengatakan: “Informasi akustik yang dikumpulkan oleh jaringan pendengaran berskala besar yang direncanakan dapat digunakan dalam berbagai aplikasi, termasuk komunikasi subglacial, navigasi dan pemosisian, deteksi target. dan rekonstruksi parameter lingkungan laut.”
“Itu untuk tujuan ilmiah, tetapi semua hal semacam itu memiliki tujuan ganda,” kata seorang pakar India di wilayah Arktik. Pengamat wilayah Arktik merasa bahwa perangkat akustik memainkan peran penting dalam memahami perubahan iklim di Arktik karena data oseanografi dari Samudra Arktik, terutama dari laut dalam, sangat langka.
Namun data tersebut juga dapat digunakan untuk melacak pergerakan kapal selam dan memahami ekosistem laut untuk memetakan rute baru – baik di bawah maupun di atas permukaan.
Polar Research Institute of China yang berbasis di Shanghai kini sedang melakukan penelitian di kutub dengan membawa beberapa instrumen, tetapi yang paling penting adalah hidrofon vektor dengan banyak sensor yang diatur dalam orientasi berbeda untuk mengukur tekanan dan gerakan partikel gelombang suara.
Dunia di atas garis lintang 66 derajat tetap sulit untuk sebagian besar keberadaan manusia, menghambat perdagangan skala besar. Penjelajah, spekulan, dan ilmuwan telah lama percaya bahwa harta karun sumber daya yang kaya dan rute pelayaran tersembunyi di bawah es dan salju Arktik. Tapi dingin yang mematikan, kegelapan yang melemahkan dan jarak yang sangat jauh telah menghambat setiap eksploitasi sumber daya.
Namun, kedalaman Kutub Utara yang tidak diketahui segera dipetakan, membuat navigasi mereka menjadi lebih cepat daripada nanti.
Lembaga tersebut menegaskan bahwa karena wilayah tersebut sensitif terhadap perubahan iklim, data tekanan suara dapat digunakan untuk melacak paus, anjing laut, dan sumber penghasil suara lainnya. Getaran horizontal dan vertikal partikel air dapat membantu para ilmuwan memahami kondisi laut seperti arus, gelombang, dan dasar laut.
Selama pengujian, institut peneltian Cina menggunakan layanan satelit komunikasi Amerika. Namun, jaringan pendengar kutub Ciina kemungkinan akan beralih ke satelit BeiDou untuk komunikasi.
Negara-negara di seluruh dunia berjuang untuk memperkuat pijakan mereka di wilayah kutub karena pemanasan global dengan cepat mencairkan lapisan es di kutub, mengubah lingkungan secara drastis. Rasa saling tidak percaya mendorong kekuatan besar dunia untuk meningkatkan keterlibatan sipil dan militer mereka di Kutub Utara.
Strategi Arktik 10 tahun yang dirilis oleh Gedung Putih pada tahun 2022 menyerukan untuk menghalangi peningkatan aktivitas Rusia dan Cina di wilayah tersebut.
Rusia sejak tahun 2013 telah memperbarui dan mengaktifkan ratusan pangkalan era Soviet di wilayah tersebut. AS menyebut bahwa Rusia menerapkan sistem rudal pertahanan udara dan pesisir baru serta meningkatkan kapal selam, dan meningkatkan latihan militer dan operasi pelatihan dengan komando tempur baru yang setara dengan Arktik.
Rusia jauh di depan dalam tujuannya untuk memperkuat navigasi Arktik. Saat ini memiliki 51 kapal pemecah es dibandingkan dengan lima kapal yang berfungsi di AS. Dengan kondisi Cina yang tak memiliki akses langsung ke kawasan Artktik, besar kemungkinan misi intelijen Cina di Kutub Utara akan memanfaatkan fasilitas milik Rusia. (Bayu Pamungkas)
Tuesday, August 1, 2023
German-supplied IRIS-T SLM Ukrainian Hanud Missile Destroyed by Lancet 3 Kamikaze Drone
Rudal Hanud IRIS-T SLM Ukraina Pasokan Jerman Berhasil Dihancurkan Drone Kamikaze Lancet 3
Satu lagi alutsista ‘mahal’ asal Barat berhasil dihancurkan oleh drone kamikaze Lancet 3. Dari video yang dirilis oleh akun Twitter “Ukraine Weapons Tracker” pada 1 Agustus 2023, terungkap secara jelas bahwa drone kamikaze Rusia berhasil menghancurkan sistem rudal pertahanan udara (hanud) IRIS-T SLM yang dioperasikan Ukraina. Ini adalah konfirmasi pertama atas hancurnya sistem hanud IRIS-T (InfraRed Imaging System Tail/Thrust Vector-Controlled) Ukraina yang dipasok oleh Jerman.
Mengutip informasi yang diterbitkan oleh Kementerian Pertahanan Jerman, militer Ukraina telah menerima dua unit IRIS-T SLM, berikut radar intai udara TRML-4D, yang mana unit perdananya telah diterima Ukraina pada Oktober 2022. Disebut alutsista mahal, pasalnya harga satu unit rudal IRIS-T SLM ditaksir mencapai US$430.000. Dan pada unit peluncur yang dihancurkan – dalam platfom truk MAN 8×8, terdapat delapan kontainer rudal hanud jarak menengah IRIS-T SLM.
IRIS-T SLM (Surface Launched Medium Range) adalah sistem pertahanan udara yang dikembangkan oleh perusahaan Jerman Diehl Defense. IRIS-T SLM didasarkan pada rudal udara-ke-udara IRIS-T, yang merupakan rudal udara ke udara jarak pendek/menengah berpemandu infrared. IRIS-T dapat melakukan manuver 360 derajat, dan dapat dikendalikan lewat radar.
Varian SLM memungkinkan rudal diluncurkan dari platform berbasis darat, memberikan kemampuan pertahanan udara jarak menengah. Rudal IRIS-T dikenal dengan kemampuan manuver dan akurasinya yang tinggi, menjadikannya senjata yang efektif melawan berbagai sasaran udara termasuk pesawat terbang, helikopter, dan drone.
Sejak diluncurkan oleh konsorsium Eropa yang terdiri dari perusahaan-perusahaan pertahanan dari Jerman, Italia, Norwegia, dan Spanyol, IRIS-T telah mengalami beberapa pengembangan lanjutan, termasuk peningkatan kemampuan sensor dan sistem panduan. Varian terbaru dari rudal ini, IRIS-T SL (Surface Launcher), dirancang untuk diluncurkan dari darat dan telah diperkenalkan oleh Jerman dan Norwegia pada tahun 2019.
IRIS-T SLM menggunakan sistem navigasi inersia dengan dukungan GPS, dengan tautan data radar untuk panduan komando selama fase pendekatan awal. Sementara interference-resistant IR seeker head diaktifkan pada tahap terminal. Pada tahun 2022, tersedia dua varian – IRIS-T SLS (jarak pendek) dengan jangkauan dan ketinggian 12 km dan IRIS-T SLM (jarak menengah) dengan jangkauan 40 km dan ketinggian maksimum 20 km.
Sementara sang penyerang, drone kamikaze Lancet 3, adalah produksi Zala Aero, anak perusahaan dari Kalashnikov Group. Drone kamikaze yang harga per unitnya US$35.000 ini, punya berat maksimum saat tinggal landas 12 kg, termasuk muatan bahan peledak 3 kg – high explosive (HE) atau HE-fragmentation.
Lancet 3 tu dibekali dengan panduan optik-elektronik dan modul panduan TV, yang memungkinkan kontrol atas amunisi selama tahap penerbangan terakhir sebelum menghantam sasarannya. Lancet 3 punya jangkauan terbang maksimum 40 km.
Diklaim Sebagai Decoy
Sementara dari pihak Ukraina menyebut bahwa apa yang diserang Lancet 3 adalah decoy, alias dummy dari sistem rudal IRIS-T SLM. Perdebatan dan diskusi tentang hal ini kemudian meramaikan komentar di jagad media sosial. (Gilang Perdana)
German-supplied IRIS-T SLM Ukrainian Hanud Missile Destroyed by Lancet 3 Kamikaze Drone
Another 'expensive' weaponry system from the West was successfully destroyed by the Kamikaze Lancet 3 drone. From the video released by the Twitter account “Ukraine Weapons Tracker” on August 1, 2023, it is clearly revealed that the Russian kamikaze drone succeeded in destroying the IRIS air defense missile system. -T SLM Ukrainian operated. This is the first confirmation of the destruction of the German-supplied Ukrainian IRIS-T (InfraRed Imaging System Tail/Thrust Vector-Controlled) airborne missile system.
Citing information published by the German Ministry of Defense, the Ukrainian military has received two IRIS-T SLM units, along with the TRML-4D air reconnaissance radar, of which Ukraine received its first unit in October 2022. It is called an expensive defense system, because the price of one IRIS-missile unit T SLM is estimated at US$430,000. And on the launcher units that were destroyed – in the platform of the MAN 8x8 truck, there were eight containers of IRIS-T SLM medium-range missiles.
The IRIS-T SLM (Surface Launched Medium Range) is an air defense system developed by the German company Diehl Defense. The IRIS-T SLM is based on the IRIS-T air-to-air missile, which is an infrared-guided short/medium range air-to-air missile. IRIS-T can perform 360-degree maneuvers, and can be controlled via radar.
The SLM variant allows the missile to be launched from ground-based platforms, providing a medium-range air defense capability. The IRIS-T missile is known for its high maneuverability and accuracy, making it an effective weapon against a variety of aerial targets including airplanes, helicopters and drones.
Since its launch by a European consortium consisting of defense companies from Germany, Italy, Norway and Spain, the IRIS-T has undergone several further developments, including enhanced sensor capabilities and guidance systems. The latest variant of this missile, IRIS-T SL (Surface Launcher), is designed for ground launch and was introduced by Germany and Norway in 2019.
The IRIS-T SLM uses an inertial navigation system with GPS support, with a radar data link for command guidance during the initial approach phase. Meanwhile, interference-resistant IR seeker heads are activated at the terminal stage. In 2022, two variants will be available – IRIS-T SLS (short range) with a range and altitude of 12 km and IRIS-T SLM (medium range) with a range of 40 km and a maximum altitude of 20 km.
Meanwhile, the attacker, the Kamikaze Lancet 3 drone, is the production of Zala Aero, a subsidiary of the Kalashnikov Group. The kamikaze drone, which costs US$35,000 per unit, has a maximum weight at take-off of 12 kg, including a 3 kg explosive payload – high explosive (HE) or HE-fragmentation.
The Lancet 3 tu is equipped with an optical-electronic guidance and TV guidance module, which allows control of the ammunition during the last stage of flight before hitting its target. Lancet 3 has a maximum flight range of 40 km.
Claimed As Decoy
Meanwhile, the Ukrainian side said that what was attacked by the Lancet 3 was a decoy, aka dummy, from the IRIS-T SLM missile system. Debate and discussion about this then enlivened comments on the social media universe. (Glang Prime)