SUBSCRIBE

Friday, August 4, 2023

Vympel RVV-MD2 – Short Range Air-to-Air Missile With Inertial Control For Sukhoi Su-57 Felon

Vympel RVV-MD2 – Short Range Air-to-Air Missile With Inertial Control For Sukhoi Su-57 Felon




indomilitary| 04/08/2023

If the F-22 Raptor and F-35 Lightning II stealth fighter jets rely on the AIM-9X as a short-range air-to-air missile, then the Kremlin's stealth champion, Sukhoi Su-57 Felon also has a rival, namely the Vympel RVV-MD, an air-to-air missile. infrared guided short range (two band infrared seeker) housed in the weapon bay. And regarding the RVV-MD, there has been news recently that a new variant has been developed, codenamed RVV-MD2.

If the RVV-MD has been claimed as the latest air-to-air missile, then the RVV-MD2 is clearly even more powerful, and is referred to by global defense equipment observers as the 'Super Missile'. So what makes the RVV-MD2 worthy of being the new mainstay of the Su-57?




According to a report from Ria Novosti, disclosure about the development of the RVV-MD2 is being made by the Moscow-based JSC GosMKB Vympel which is designing the latest generation of air-to-air missiles. About RVV-MD2 was disclosed in an article published in the magazine “Arsenal of the Fatherland.”

The article asserts that Russia has achieved a significant five to ten year advantage over the United States in developing fifth-generation air-to-air missiles, which are currently in production.




The new RVV-MD2 is the successor to the RVV-MD short-range “air-to-air” missile. This new missile has several advantages that Russian media claim will be very effective and lethal in aerial warfare. Victor Murakhovsky, editor-in-chief of Arsenal of the Fatherland magazine and military expert, explained that the RVV-MD2 is the world's first short-range missile that incorporates an inertial control system.

This system is designed to control and stabilize the missile during autonomous flight. The inertial system operates on the principle of a missile independently determining its coordinates in space without relying on external targeting or signals. Sensors on the missile calculate its position based on previously known positions, enabling the missile to navigate and maneuver accurately in its flight trajectory.

The RVV-MD2 has a radio correction line that allows the aircraft to correct target coordinates. This improvement significantly increases the chances of successfully engaging and hitting enemy aircraft during combat.





Compared to the previous version, the RVV-MD2 now uses a multi-element multi-band infrared seeker with better immunity to jamming attempts. The advanced homing head enables the RVV-MD2 to engage targets effectively from all angles, including targets at the rear of the aircraft.

In other words, the RVV-MD2 can be launched forward, maneuver in the air, and successfully hit enemy aircraft following behind the Su-57, further increasing its combat capability. However, details about the planned integration of the missile into the Su-57 fleet and its overall production scale have yet to be announced.

using infrared guidance (two band infrared seekers) combined with gas/aerodynamic control, making this 106 kg missile able to pursue targets from various angles. Of the weight that reaches 106 kg, 8 kg of which are warheads.

The RVV-MD is not only designed to hit fighter jets, transport aircraft and helicopters, more than that, the RVV-MD was designed by the Vympel Design Bureau to destroy cruise missiles, it can even destroy targets that emit radiation on the surface, such as radar stations.

The missile, which is powered by a single-mode solid fuel rocket motor, can certainly be used in day and night conditions, and is equipped with anti-jamming technology.

RVV-MD is capable of traveling at Mach 2.5 speed, this missile can pursue a maximum target of 40 km, and is at least effectively fired from a distance of 300 meters. Regarding the launch height, the RVV-MD can be launched at altitudes ranging from 20 meters to 20,000 meters. The RVV-MD can operate effectively from any direction, day or night, in challenging electronic countermeasures (ECM) environments.

With the RVV-MD2 which brings these advanced features and improvements, it promises to increase the combat capability of the Su-57 fighter jet even further. (Glang Prime)

Vympel RVV-MD2 – Rudal Udara Ke Udara Jarak Dekat Dengan Kontrol Inersia Untuk Sukhoi Su-57 Felon


indomiliter | 04/08/2023


Bila jet tempur stealth F-22 Raptor dan F-35 Lightning II mengandalkan AIM-9X sebagai rudal udara ke udara jarak pendek, maka jawara stealth Kremlin, Sukhoi Su-57 Felon juga punya tandingannya, yakni Vympel RVV-MD, rudal udara ke udara jarak pendek berpemandu infrared (dua band infrared seeker) yang ditempatkan dalam weapon bay. Dan terkait RVV-MD, belum lama ada kabar bahwa telah dikembangkan varian barunya yang diberi kode RVV-MD2.

Bila RVV-MD sudah diklaim sebagai rudal udara ke udara mutakhir, maka RVV-MD2 jelas lebih hebat lagi, dan oleh para pengamat alutsista global disebut sebagai ‘Super Missile’. Lantas apa yang membuat RVV-MD2 layak menjadi andalan baru pada Su-57?


Menurut sebuah laporan dari Ria Novosti, pengungkapan tentang pengembangan RVV-MD2 tengah dilakukan oleh JSC GosMKB Vympel yang berbasis di Moskow dan tengah merancang rudal udara ke udara generasi terbaru. Tentang RVV-MD2 diungkapkan dalam sebuah artikel yang diterbitkan di majalah “Arsenal of the Fatherland.”


Artikel tersebut menegaskan bahwa Rusia telah mencapai keunggulan yang signifikan selama lima hingga sepuluh tahun dibandingkan Amerika Serikat dalam mengembangkan rudal udara-ke-udara generasi kelima, yang mana saat ini telah mencapai tahap produksi.

RVV-MD2 baru adalah penerus rudal “udara-ke-udara” jarak pendek RVV-MD. Rudal baru ini memiliki beberapa keunggulan yang diklaim media Rusia akan sangat efektif dan mematikan dalam peperangan udara. Victor Murakhovsky, pemimpin redaksi majalah “Arsenal of the Fatherland” dan pakar militer, menjelaskan bahwa RVV-MD2 adalah rudal jarak pendek pertama di dunia yang menggabungkan sistem kontrol inersia.

Sistem ini dirancang untuk mengontrol dan menstabilkan rudal selama penerbangan otonom. Sistem inersia beroperasi berdasarkan prinsip rudal yang secara mandiri menentukan koordinatnya di angkasa tanpa bergantung pada penanda (targeting) atau sinyal eksternal. Sensor pada rudal menghitung posisinya berdasarkan posisi yang diketahui sebelumnya, memungkinkan bagi rudal untuk menavigasi dan bermanuver secara akurat dalam lintasan penerbangannya.

RVV-MD2 memiliki garis koreksi radio yang memungkinkan pesawat memperbaiki koordinat target Peningkatan ini secara signifikan meningkatkan kemungkinan berhasil menyerang dan mengenai pesawat musuh selama pertempuran.


Dbandingkan versi sebelumnya, maka RVV-MD2 kini menggunakan infrared seeker multi-elemen multi-band dengan kekebalan terhadap upaya jammimg yang lebih baik. Dengan homing head canggih memungkinkan RVV-MD2 untuk menyerang target secara efektif dari semua sudut, termasuk sasaran di bagian belakang pesawat.


Dengan kata lain, RVV-MD2 dapat diluncurkan ke depan, bermanuver di udara, dan berhasil mengenai pesawat musuh yang mengikuti di belakang Su-57, yang selanjutnya meningkatkan kemampuan tempurnya. Namun, rincian tentang rencana integrasi rudal ke dalam armada Su-57 dan skala produksi keseluruhannya belum diumumkan.


mengadalkan pemandu infrared (dua band infrared seeker) yang dikombinasi dengan gas/aerodynamic control, menjadikan rudal 106 kg ini dapat mengejar sasaran dari beragam sudut. Dari bobot yang mencapai 106 kg, 8 kg di antaranya adalah hulu ledak.


RVV-MD bukan hanya dirancang untuk menghantam sasaran jet tempur, pesawat angkut dan helikopter, lebih dari itu, RVV-MD dirancang oleh Vympel Design Bureau untuk menghancurkan rudal jelajah, bahkan dapat pula menghancurkan sasaran yang memancarkan radiasi di permukaan, seperti stasiun radar.


Rudal yang ditenagai single-mode solid fuel rocket motor ini, dipastikan dapat digunakan dalam kondisi siang dan malam hari, serta telah dilengkapi teknologi anti jamming.

RVV-MD mampu melesat dengan keceatan Mach 2.5, rudal ini dapat mengejar sasaran maksimum sejauh 40 km, dan minimal efektif ditembakan dari jarak 300 meter. Soal ketinggian luncur, RVV-MD dapat diluncurkan di ketinggian mulai dari 20 meter sampai 20.000 meter. RVV-MD dapat beroperasi secara efektif dari segala arah, siang atau malam, di tengah lingkungan penanggulangan elektronik (ECM) yang menantang.


Dengan RVV-MD2 yang membawa fitur dan peningkatan canggih ini, maka menjanjikan peningkatan kemampuan tempur jet tempur Su-57 lebih jauh lagi. (Gilang Perdana)

K239PL Homar-K Self Propelled Variant of MLRS K239 Chunmoo Purchased by Poland From South Korea

 K239PL Homar-K – Self Propelled Variant of MLRS K239 Chunmoo Purchased by Poland From South Korea



Flashback to 27 August 2022, Poland announced the procurement of the self-propelled MLRS K239 Chunmoo 8x8 from Hanwha Corporation, South Korea. However, Poland does not necessarily buy the weapon system in its 'original' form. Because it buys in large quantities, Poland requires the use of domestic components in the procurement of K239 Chunmoo. One of them is the replacement of the launcher truck platform.

The MLRS K239 Chunmoo 8x8 (original) uses the Doosan Infracore K239L 8x8 truck platform, while Poland requests the truck platform to use the Jelcz P882 8x8. Apart from using domestically made trucks, the MLRS, which was acquired from South Korea, will also adopt the Topaz fire control system made in Poland. With the change in specifications above, the K239 Chunmoo 8x8 variant for Poland is then labeled K239PL Homar-K.

As is the case with the FA-50 Fighting Eagle tactical fighter jet procurement project which was relatively fast for Poland, so is the case for the K239PL Homar-K. After three Jelcz P882 8x8 trucks arrived in South Korea, on 7 June 2023, Homar-K has been launched by Hanwha. And as quoted from the Global Defense Insight Twitter account, at the end of July the K239PL Homar-K successfully completed a mobility test in Changwon, South Korea.

According to the agreement between South Korea and Poland, 218 Homar-K units will be built in South Korea, and the remaining 70 will be built in Poland. Delivery of the first batch of K239PL Homar-K to the Polish Army will take place in early August.

The K239PL Homar-K carries two launch pods capable of firing rockets of different calibers. It can fire K33 130 mm caliber unguided rockets (20 rockets to each pod), 227 mm unguided rockets (6 rockets to each pod), and 239 mm guided rockets (6 rockets to each pod).




The 130 mm rockets have a range of 36 km, while the larger 230 mm rockets have a range of around 80 km for the non-guided, and 160 km for the guided variants. The 239 mm rocket has a length of 3.96 meters and is guided by GPS/INS with two operating modes, namely impact bursting to fight personnel and delayed bursting to destroy bunkers. Two different types of rocket pods can be loaded at once and the modular containers can be reloaded quickly.

Procurement of self-propelled MLRS in large quantities and fast delivery periods cannot be separated from Poland's needs over concerns over the effects of the Russo-Ukrainian war. (Glang Prime)

K239PL Homar-K – Varian Self Propelled MLRS K239 Chunmoo Yang Dibeli Polandia Dari Korea Selatan


Kilas balik ke 27 Agustus 2022, Polandia mengumumkan pengadaan self propelled MLRS K239 Chunmoo 8×8 dari Hanwha Corporation, Korea Selatan. Namun, Polandia tak serta merta membeli sistem senjata dalam bentuk ‘asli’. Lantaran membeli dalam jumlah besar, Polandia mensyaratkan penggunaan komponen dalam negeri pada pengadaan K239 Chunmoo. Yang salah satunya berupa penggantian platform truk peluncur.

MLRS K239 Chunmoo 8×8 (asli) menggunakan platform truk Doosan Infracore K239L 8×8, sementara Polandia meminta platfom truk menggunakan Jelcz P882 8×8. Selain menggunakan truk buatan dalam negeri, MLRS yang diakuisisi dari Korea Selatan ini juga akan mengadopsi sistem pengendalian tembakan Topaz buatan Polandia. Dengan perubahan spesifikasi di atas, varian K239 Chunmoo 8×8 untuk Polandia kemudian diberi label K239PL Homar-K.


Seperti halnya pada proyek pengadaan jet tempur taktis FA-50 Fighting Eagle yang terbilang cepat untuk Polandia, maka pun demikian untuk K239PL Homar-K. Setelah tiga truk Jelcz P882 8×8 tiba di Korea Selatan, pada 7 Juni 2023, Homar-K telah diluncurkan oleh Hanwha. Dan seperti dikutip dari akun Twitter Global Defense Insight, pada akhir Juli lalu K239PL Homar-K telah sukses menuntaskan mobility test di Changwon, Korea Selatan.


Sesuai perjanjian antara Korea Selatan dan Polandia, 218 unit Homar-K akan dibangun di Korea Selatan, dan 70 sisanya akan dibangun di Polandia. Pengiriman batch perdana K239PL Homar-K ke Angkatan Darat Polandia akan dilakukan pada awal Agustus ini.

K239PL Homar-K membawa dua pod peluncuran yang mampu menembakkan roket dengan kaliber berbeda. Ini dapat menembakkan roket tanpa pemandu K33 kaliber 130 mm (20 roket ke setiap pod), roket tanpa pemandu 227 mm (6 roket ke setiap pod), dan roket berpemandu 239 mm (6 roket ke setiap pod).

Roket 130 mm memiliki jangkauan 36 Km, sedangkan roket kaliber 230 mm yang lebih besar memiliki jangkauan sekitar 80 Km untuk yang tidak berpemandu, dan 160 Km untuk varian berpemandu. Roket 239 mm memiliki panjang 3,96 meter dan dipandu GPS/INS dengan dua mode operasi, yaitu ledakan tumbukan (impact bursting) untuk melawan personel dan ledakan tunda (delay bursting) untuk menghancurkan bunker. Dua jenis pod roket yang berbeda dapat dimuat sekaligus dan wadah modular dapat dimuat ulang dengan cepat.

Pengadaan self propelled MLRS dalam jumlah besar dan periode pengiriman yang cepat, tak bisa dilepaskan dari kebutuhan Polandia atas kekhawatiran terimbas perang Rusia-Ukraina. (Gilang Perdana)

Thursday, August 3, 2023

Pakistan And Azerbaijan Join Kaan's (Turkish) Stealth Fighter Jet Program

Pakistan And Azerbaijan Join Kaan's (Turkish) Stealth Fighter Jet Program

indomilitary| 03/08/2023



Operating a fifth-generation fighter can be likened to a dream and a need. In fact, it's not enough for a country to just have a big budget to be able to buy stealth fighter jets like the F-35 Lightning II. Because it is full of sophisticated technology and is considered sensitive, there are sales restrictions that cannot be separated from political affairs. And when KAAN (formerly TF-X) was successfully launched by Turkey, it opened up opportunities for third world countries to later 'taste' the advantages of stealth fighter jets.

And regarding the development of KAAN produced by Turkish Aerospace Industries (TAI), there are reports that Pakistan and Azerbaijan have joined Turkey's fifth-generation stealth fighter jet program.

On December 27 this year, it is planned that KAAN will fly for the first time with the support of artificial intelligence technology in it. Quoted from propakistani.pk, it is said that the KAAN development program has received significant support from Pakistan and Azerbaijan, which have officially joined the program, signifying a new era cooperation in the aviation sector.




Collaboration between Pakistan and Turkey was further strengthened by the signing of a contract between Pakistan Aeronautical Complex (PAC) Kamra and Turkish Aerospace Industries (TAI). This agreement outlines the joint development of various airworthy equipment, strengthens ties and encourages the exchange of technological know-how between the two countries.

The entry of Pakistan and Azerbaijan into the KAAN stealth aircraft project has opened up new possibilities for sharing expertise and resources. As part of the collaboration, several KAAN subsystems will be manufactured in Pakistan, leading to the establishment of a joint production line. This strategic move not only reduces the overall financial burden, but can also increase production, ensuring the timely completion of the aircraft.

The KAAN stealth fighter jet is expected to be a game-changer, with advanced stealth capabilities that will allow it to operate undetected in hostile airspace. Its AI amalgamation adds another dimension to its already impressive features, making it a formidable force in modern aerial warfare.




KAAN, originally planned to make its maiden flight with Turkish engines in 2028, with its first flight on 27 December 2023, will exceed expectations by reaching the milestone ahead of schedule. Development of KAAN began in 2010, although there were some setbacks and delays along the way. However, the development process rapidly accelerated in 2019, especially when Turkey was kicked out by the US from the F-35 Lightning II stealth fighter jet program.

With a wingspan of around 21 meters, the aircraft boasts impressive performance capabilities, being able to reach a maximum speed of Mach 1.8 thanks to its twin engines, each developing 29,000 pounds (13,000 kg) of thrust.

Recent KAAN photos show exhaust nozzles similar to those found on a different General Electric F110 model. SavunmaSanayiST notes that the aircraft moved independently during the most recent taxii test, indicating that the General Electric F110 engine was successfully integrated.

As a fifth-generation fighter, the KAAN was carefully developed by TAI with the primary aim of replacing Turkey's aging F-16 fleet, demonstrating Turkey's commitment to advancing its air defense capabilities. (Glang Prime)

Pakistan Dan Azerbaijan Bergabung Dalam Program Jet Tempur Stealth (Turki) KAAN


indomiliter | 03/08/2023


Mengoperasikan pesawat tempur generasi kelima bisa diibaratkan antara idaman dan kebutuhan. Faktanya, suatu negara tidak cukup hanya punya anggaran besar untuk bisa membeli jet tempur stealth seperti F-35 Lightning II. Lantaran sarat teknologi canggih dan dinilai sensitif, maka ada pembatasan penjualan yang tak bisa dilepaskan dari urusan politik. Dan ketika KAAN (d/h TF-X) sukses diluncurkan oleh Turki, maka terbuka peluang bagi negara dunia ketiga untuk kelak ‘mencicipi’ keunggulan jet tempur stealth.

Dan terkait pengembangan KAAN yang diproduksi Turkish Aerospace Industries (TAI), ada kabar bahwa Pakistan dan Azerbaijan telah bergabung dalam program jet tempur stealth generasi kelima Turki.


Pada 27 Desember tahun ini, rencananya KAAN akan terbang perdana dengan dukungan teknologi kecerdasan buatan di dalamnya.Dikutip dari propakistani.pk, disebut bahwa program pengembangan KAAN mendapat dukungan signifikan dari Pakistan dan Azerbaijan, yang secara resmi telah bergabung dalam program tersebut, menandakan era baru kerja sama di sektor penerbangan.


Kolaborasi antara Pakistan dan Turki semakin diperkuat dengan penandatanganan kontrak antara Pakistan Aeronautical Complex (PAC) Kamra dan Turkish Aerospace Industries (TAI). Perjanjian ini menguraikan pengembangan bersama berbagai airworthy equipment, memperkuat ikatan dan mendorong pertukaran pengetahuan teknologi antara kedua negara.

Masuknya Pakistan dan Azerbaijan dalam proyek pesawat siluman KAAN telah membuka kemungkinan baru untuk berbagi keahlian dan sumber daya. Sebagai bagian dari kolaborasi, beberapa subsistem KAAN akan diproduksi di Pakistan, yang mengarah pada pembentukan jalur produksi bersama. Langkah strategis ini tidak hanya mengurangi beban keuangan secara keseluruhan, tetapi juga dapat meningkatkan produksi, memastikan penyelesaian pesawat tepat waktu.



Jet tempur stealth KAAN diharapkan menjadi game-changer, dengan kemampuan siluman canggih yang memungkinkannya beroperasi tanpa terdeteksi di wilayah udara yang bermusuhan. Penggabungan AI-nya menambah dimensi lain pada fitur-fiturnya yang sudah mengesankan, menjadikannya kekuatan yang tangguh dalam peperangan udara modern.


KAAN, awalnya direncanakan untuk melakukan penerbangan perdananya dengan mesin Turki pada tahun 2028, dengan kabar terbang perdana pada 27 Desember 2023, maka akan melampaui ekspektasi dengan mencapai tonggak sejarah lebih cepat dari jadwal. Pengembangan KAAN dimulai pada tahun 2010, meskipun ada beberapa kemunduran dan penundaan di sepanjang jalan. Namun, proses pengembangan dengan cepat meningkat pada 2019, terutama ketika Turki didepak oleh AS dari program jet tempur stealth F-35 Lightning II.

Dengan lebar sayap sekitar 21 meter, pesawat ini menawarkan kemampuan kinerja yang mengesankan, mampu mencapai kecepatan maksimum Mach 1,8 berkat mesin kembarnya, masing-masing menghasilkan daya dorong 29.000 pound (13.000 kg).


Foto KAAN terbaru memperlihatkan nozel knalpot yang serupa dengan yang ditemukan pada model General Electric F110 yang berbeda. SavunmaSanayiST mencatat bahwa pesawat bergerak secara independen selama uji taxii terbaru, menunjukkan bahwa mesin General Electric F110 berhasil diintegrasikan.


Sebagai pesawat tempur generasi kelima, KAAN dikembangkan dengan cermat oleh TAI dengan tujuan utama menggantikan armada F-16 Turki yang sudah tua, menunjukkan komitmen Turki untuk memajukan kemampuan pertahanan udaranya. (Gilang Perdana)

Murad AESA Radar (Turkey) Potentially Match AN/APG-83 SABR For F-16 Viper Upgrade

 Murad AESA Radar (Turkey) Potentially Match AN/APG-83 SABR For F-16 Viper Upgrade.





The Turkish Air Force through the Ozgur program will carry out a major upgrade of its F-16 fighter jet fleet to the 'Viper' standard. What's interesting about the Ozgur program is that several important components on the fighter are supplied by domestic companies. And one component that has received great attention is the adoption of the Murad AESA (Active Electronically Scanned Array) radar produced by Aselsan.

Of course, the upgrade of the F-16 using non-US components requires approval from Washington, which for this permission was obtained by a difficult 'struggle' at the level of bilateral lobbying. However, the point that can be observed from the adoption of the Murad AESA radar is that Northrop Grumman has the potential to get a rival in the marketing of the AESA radar for the F-16 Block 72 Viper.





As is known, the AESA radar package for the F-16 Viper based on standard specifications refers to Northrop Grumman AN/APG-83. Northrop Grumman calls the AN/APG-83 the SABR (Scalable Agile Beam Radar) label, which is a radar that has greater bandwidth, speed, agility and offers pilots fifth-generation radar combat capabilities.

Quoting a source from savunmasanayist.com (2/8/2023), it was stated that the first flight test of the F-16 Block 30 with the Murad radar will begin in September 2023, where currently there are two Turkish Air Force F-16s that are in the process of system integration, including installation of the mission computer in the Ozgur program.

In terms of appearance and design, the Murad and AN/APG-83 SABR are relatively similar, because they were specifically designed to adapt the typical F-16 radome shape.





Aselsan designed the Murad AESA radar not only for the F-16, but also for the Akinci combat drone (UCAV) and the KAAN stealth fighter jet (formerly – TF-X). The Murad radar was built using the latest Gallium Nitride (GaN) technology. This multifunctional radar is capable of carrying out air-to-air, air-to-ground and air-to-sea missions simultaneously and has the ability to serve electronic warfare (electronic warfare).

With GaN technology, the Murad radar has a higher power efficiency, which means it can produce more power output with lower power consumption. This makes it suitable for radar applications where high power requirements and better heat resistance are required. GaN technology enables Murad to achieve greater transmitter power, better heat resistance, and more accurate search and track performance in a variety of combat situations.

Other specifications of the Murad have not been released, such as the detection range of the radar. For comparison, the AN/APG-83 SABR has a detection range of 120 km, while target identification can be carried out at a distance of 84 km. Simultaneously, this radar can track more than 20 targets, including engaging in warfare in beyond visual range and maritime modes.

It is not yet known which one is superior, whether Murad or SABR. If Murad is able to match the performance of the AN/APG-83, it will be a big achievement for Aselsan. About export potential? Seeing the large market for upgrading the older F-16 series to the Viper standard, there is a great opportunity to market the Murad to countries using the F-16.

But again, for export matters related to products (aircraft) made in the US, it is certain that all phases must get a 'green light' from Washington. (Bayu Pamungkas)

Radar AESA Murad (Turki) Berpotensi Tandingi AN/APG-83 SABR Untuk Upgrade F-16 Viper


Angkatan Udara Turki lewat program Ozgur akan melakukan upgrade besar-besaran pada armada jet tempur F-16 ke standar ‘Viper’. Yang menarik dari program Ozgur adalah beberapa komponen penting pada pesawat tempur tersebut dipasok oleh perusahaan dalam negeri. Dan salah satu komponen yang mendapat perhatian besar adalah adopsi radar AESA (Active Electronically Scanned Array) Murad yang diproduksi oleh Aselsan.

Sudah barang tentu, upgrade atas F-16 dengan menggunakan komponen non-AS memerlukan persetujuan dari Washington, yang untuk izin ini didapatkan dengan ‘perjuangan’ yang tak mudah di tingkat lobi bilateral. Namun, poin yang bisa dicermati dari adopsi radar AESA Murad adalah Northrop Grumman berpotensi mendapatkan saingan dalam pemasaran radar AESA untuk F-16 Block 72 Viper.

Seperti diketahui, paket radar AESA untuk F-16 Viper berdasakan spesifikasi standar mengacu pada Northrop Grumman AN/APG-83. Northrop Grumman menyebut AN/APG-83 dengan label SABR (Scalable Agile Beam Radar), yaitu radar yang memikiki bandwidth, kecepatan, kelincahan yang lebih besar dan menawarkan pilot kemampuan tempur radar generasi kelima.


Mengutip sumber dari savunmasanayist.com (2/8/2023), disebutkan bahwa uji terbang perdana F-16 Block 30 dengan radar Murad akan dimulai pada bulan September 2023, di mana saat ini ada dua unit F-16 AU Turki yang tengah dalam proses integrasi sistem, termasuk instalasi komputer misi dalam program Ozgur.


Dari segi tampilan dan desain, antara Murad dan AN/APG-83 SABR relatif serupa, karena dirancang khusus menyesuaikan bentuk radome F-16 yang khas.



Aselsan merancang radar AESA Murad tidak hanya untuk F-16, melainkan juga untuk drone tempur (UCAV) Akinci dan jet tempur stealth KAAN (d/h – TF-X). Radar Murad dibangun menggunakan teknologi terbaru Gallium Nitride (GaN). Radar multifungsi ini mampu melakukan misi udara-ke-udara, udara-ke-darat, udara-ke-laut secara simultan dan memiliki kemampuan meladeni peperangan elektronik (electronic warfare).



Dengan teknologi GaN, maka radar Murad memiliki efisiensi daya yang lebih tinggi, yang berarti dapat menghasilkan lebih banyak daya output dengan konsumsi daya yang lebih rendah. Ini membuatnya cocok untuk aplikasi radar dengan kebutuhan daya tinggi dan ketahanan panas yang lebih baik. Teknologi GaN memungkinkan Murad untuk mencapai daya pemancar yang lebih besar, ketahanan panas yang lebih baik, serta kinerja pencarian dan pelacakan yang lebih akurat dalam situasi pertempuran yang beragam.



Spesifikasi lain dari Murad belum dirilis, seperti berapa jarak jangkau deteksi dari radar. Sebagai perbandingan, AN/APG-83 SABR punya jarak jangkau deteksi 120 km, sementara identifikasi sasaran dapat dilakukan di jarak 84 km. Dalam waktu simultan, radar ini dapat melacak lebih dari 20 sasaran, termasuk meladeni peperangan dalam moda beyond visual range dan maritime mode.


Belum diketahui mana yang lebih unggul, apakah Murad atau SABR. Bila Murad mampu menyamai kinerja AN/APG-83, itu sudah merupakan prestasi besar bagi Aselsan. Tentang potensi ekspor? Melihat besarnya pasar upgrade F-16 seri lawas ke standar Viper, maka ada peluang besar memasarkan Murad ke negara-negara pengguna F-16.


Namun kembali lagi, untuk urusan ekspor yang terkait dengan produk (pesawat) buatan AS, maka dipastikan semua fase harus mendapatkan ‘lampu hijau’ dari Washington. (Bayu Pamungkas)

Delay' Delivery of F-16 Viper, Becomes One Reason for Taiwan to Upgrade Mirage 2000-5

Delay' Delivery of F-16 Viper, Becomes One Reason for Taiwan to Upgrade Mirage 2000-5





Referring to the news last May, it was stated that the Taiwan Ministry of Defense was considering options to upgrade or replace the Mirage 2000-5 fighter jets. One of the reasons for this consideration was because of the age of the delta wing fighter jet which was getting old. Later strengthened the option to upgrade, but it turned out that it had something to do with the F-16 Viper.

Quoted from focustaiwan.tw (31/7/2023), Taiwan's move to upgrade the Mirage 2000-5 due to delays in the scheduled delivery of F-16 Block 70 Viper fighter jets (66 units purchased recently) from Lockheed Martin. There was no mention of the reason for the delay experienced by Lockheed Martin. However, several aircraft manufacturers, despite being flooded with orders, are also facing problems in the component supply chain, one of which is the impact of the war in Ukraine.

Due to the delay in the delivery of the F-16 Viper, in order to maintain combat readiness, Taiwan will then modernize the Mirage 2000-5 fighter jets. Taiwan in this case plans to test the possibility of upgrading nine of the 54 Mirage 2000-5 fighter jets to extend their operational life. This has been announced by the Taiwan Air Force Command Headquarters.




All nine upgradeable Mirage 2000-5s are tandem seat variants, allowing them to be used for combat and training missions.

The Taiwan Air Force is currently working with Dassault Aviation to evaluate the possibility of further upgrades for the operation of the Mirage 2000-5 for the next 20 years. The study will last until July 2026, and will cost around US$4.77 million.

The Mirage 2000s was Taiwan's premier fighter in the 90s. From the initial 60 units, now there are 54 aircraft units still operating after six were damaged in an accident.

For maintenance matters, Taiwan has a maintenance service agreement with France that expires in 2026. The Taiwanese government has asked Dassault to upgrade the Mirage 2000 several times. However, there are allegations that due to pressure from Beijing – the French company is said to have demanded a high price for the upgrade costs of the Mirage 2000.




In the purchase package for 60 Mirage 2000-5 units - consisting of 48 Mirage 2000-5EI (single seat) and 12 Mirage 2000-5DI (tandem seats), the Taiwan Air Force also received 460 units of Magic missiles and 960 units of Mica missiles. Taiwan has allocated US$16.7 million to the National Chung-Shan Institute of Science and Technology to extend the life of the French short-range air-to-air missile.

The Taiwan Air Force is also currently pursuing an upgrade target of 141 F-16s with a value of NT$110 billion (US$4.56 billion), all of which will be converted to the Viper standard. In addition, Taiwan is also in the process of procuring 66 (new) F-16 Viper fighter jets with a value of US $ 8 billion. Overall, Taiwan will operate 200 more F-16s. The upgrade program for the 142 F-16 A/B units is carried out by the Aerospace Industrial Development Corp (AIDC), and all upgrade processes are scheduled to be completed in 2023. (Gilang Perdana)

Gegara ‘Delay’ Pengiriman F-16 Viper, Jadi Satu Alasan Taiwan Upgrade Mirage 2000-5

Merujuk ke pemberitaan bulan Mei lalu, disebutkan Kementerian Pertahanan Taiwan tengah mempertimbangkan opsi untuk melakukan upgrade atau mengganti jet tempur Mirage 2000-5. Pertimbangan tersebut dikemukakan salah satunya karena usia jet tempur bersayap delta itu yang telah menua. Belakangan menguat opsi untuk melakukan upgrade, tapi ternyata itu ada kaitan dengan F-16 Viper.

Dikutip dari focustaiwan.tw (31/7/2023), langkah Taiwan untuk melakukan upgrade atas Mirage 2000-5 karena adanya keterlambatan pada jadwal pengiriman jet tempur F-16 Block 70 Viper (66 unit dibeli baru) dari Lockheed Martin. Tidak disebutkan alasan keterlambatan yang dialami Lockheed Martin. Namun, beberapa pabrikan pesawat meski kebanjiran order juga menghadapi masalah pada rantai pasokan komponen, yang salah satunya imbas dari perang di Ukraina.

Atas keterlambatan pengiriman F-16 Viper, guna menjaga kesiapan tempur, kemudian Taiwan akan memodernsasi jet tempur Mirage 2000-5. Taiwan dalam hal ini berencana untuk menguji kemungkinan meningkatkan sembilan unit dari 54 unit jet tempur Mirage 2000-5 untuk memperpanjang usia operasional. Hal ini telah diumumkan oleh Markas Besar Komando Angkatan Udara Taiwan.

Kesembilan Mirage 2000-5 yang dapat akan di-upgrade adalah varian kursi ganda (tandem seat), yang memungkinkan untuk digunakan untuk misi pertempuran dan pelatihan.

Angkatan Udara Taiwan saat ini telah menggandeng Dassault Aviation untuk mengevaluasi kemungkinan upgrade lebih jauh untuk pengoperasian Mirage 2000-5 hingga 20 tahun mendatang. Studi ini akan berlangsung hingga Juli 2026, dan akan menelan biaya sekitar US$4,77 juta.

Mirage 2000-an adalah pesawat tempur utama Taiwan pada era 90-an. Dari awalnya 60 unit, kini ada 54 unit pesawat masih beroperasi setelah enam mengalami kerusakan dalam kecelakaan.

Untuk urusan perawatan, Taiwan memiliki perjanjian layanan pemeliharaan dengan Perancis yang berakhir pada tahun 2026. Pemerintah Taiwan telah meminta Dassault untuk melakukan upgrade Mirage 2000 beberapa kali. Tetapi, ada dugaan karena tekanan dari Beijing – perusahaan Perancis itu dikatakan telah menuntut harga tinggi untuk biaya upgrade Mirage 2000.

Dalam paket pembelian 60 unit Mirage 2000-5 – terdiri dari 48 Mirage 2000-5EI (single seat) dan 12 Mirage 2000-5DI (tandem seat), AU Taiwan juga mendapatkan 460 unit rudal Magic dan 960 unit rudal Mica. Taiwan telah mengalokasikan dana US$16,7 juta kepada National Chung-Shan Institute of Science and Technology, untuk memperpanjang usia rudal udara-ke-udara jarak pendek buatan Perancis itu.

AU Taiwan saat ini juga tengah mengejar target upgrade 141 unit F-16 dengan nilai NT$110 miliar (US$4,56 miliar), yang kesemuanya akan diubah ke standar Viper. Selain itu, Taiwan juga sedang dalam proses pengadaan 66 jet tempur F-16 Viper (baru) dengan nilai US$8 miliar. Secara keseluruhan, Taiwan akan mengoperasikan 200 unit lebih F-16. Program upgrade ke-142 unit F-16 A/B dilaksanakan oleh Aerospace Industrial Development Corp (AIDC), dan semua proses upgrade dijadwalkan tuntas pada tahun 2023. (Gilang Perdana)

Wednesday, August 2, 2023

Former Russian President Dmitry Medvedev Threatens To Use Nukes If Ukraine's Counterattack Advances

Former Russian President Dmitry Medvedev Threatens To Use Nukes If Ukraine's Counterattack Advances.



Former Russian President Dmitry Medvedev, who frequently threatened Europe with nuclear missiles because of the Ukraine war, said on Sunday that Moscow must use nuclear weapons if the ongoing Kyiv counteroffensive manages to break through Russia.


Medvedev, who is deputy chairman of the Russian Security Council, a body chaired by President Vladimir Putin, said in a message on his official social media account that Russia would be forced to withdraw from its own nuclear deal if such a scenario unfolded.


"Imagine if...Ukraine's military offensive, supported by NATO, is successful and they tear off a piece of our land then we will be forced to use nuclear weapons as per the decree of the Russian president." Medvedev said.





Medvedev credited Russia with establishing that nuclear weapons could be used as a response to aggression against Russia carried out using conventional weapons that threaten the Russian state.


Currently Ukraine is trying to reclaim its sovereign territory that was unilaterally annexed by Russia and declared part of its own territory, a move condemned by Kyiv and much of the West.


Kremlin critics have in the past accused Medvedev of making extreme statements in an attempt to dissuade Western countries from continuing to supply Ukraine with weapons.






Mantan Presiden Rusia Ancam Gunakan Nuklir Jika Serangan Balik Ukraina Semakin Maju.


Mantan Presiden Rusia Dmitry Medvedev, yang sering mengancam Eropa dengan rudal nuklir karena perang Ukraina, mengatakan pada hari Minggu bahwa Moskow harus menggunakan senjata nuklir jika serangan balasan Kyiv yang sedang berlangsung berhasil menerobos Rusia.


Medvedev, yang merupakan wakil ketua Dewan Keamanan Rusia, sebuah badan yang diketuai oleh Presiden Vladimir Putin, mengatakan dalam sebuah pesan di akun media sosial resminya bahwa Rusia akan dipaksa untuk mundur dari perjanjian nuklirnya sendiri jika skenarionya seperti itu.


“Bayangkan jika.. serangan militer Ukraina yang didukung oleh NATO, berhasil dan mereka merobek sebagian tanah kami maka kami akan dipaksa untuk menggunakan senjata nuklir sesuai aturan keputusan dari presiden Rusia.” Ujar Medvedev.


Medvedev menyebut Rusia yang menetapkan bahwa senjata nuklir dapat digunakan sebagai tanggapan atas agresi terhadap Rusia yang dilakukan dengan menggunakan senjata konvensional yang mengancam negara Rusia.


Saat ini Ukraina mencoba untuk merebut kembali wilayah kedaulatannya yang telah dianeksasi secara sepihak oleh Rusia dan dinyatakan sebagai bagian dari wilayahnya sendiri, sebuah langkah yang dikutuk oleh Kyiv dan sebagian besar Barat.


Kritikus Kremlin di masa lalu menuduh Medvedev membuat pernyataan ekstrem dalam upaya menghalangi negara-negara Barat untuk terus memasok senjata ke Ukraina.

Not Just Research, China Installs Underwater Acoustic Devices In The Arctic Ocean Under

 Not Just Research, China Installs Underwater Acoustic Devices In The Arctic Ocean



Under the pretext of carrying out underwater research activities, China has carried out transoceanic exploration far from its territory. Even though it was carried out in international waters, it is no doubt that what Beijing has done has worried the United States and its allies, namely regarding China's intelligence efforts to detect and monitor the movements of US submarines.

After research efforts carried out in the Pacific, Indian and Atlantic oceans, China has since 2021 begun exploring underwater research in the US' "back yard", namely in the Arctic ocean. For the record, the Arctic ocean, located in the northern hemisphere and mostly in the Arctic region of the North Pole, is the smallest and shallowest of the five oceans in the world.




What China is doing in the Arctic region is deploying what it calls 'Listening Devices.' Although China's territory is not directly linked to the Arctic ocean, Beijing has declared its intention to become a major power in the Arctic by 2030. The Arctic Ocean so far borders Russia , United States, Canada, Norway, and Denmark – the so-called Arctic Circle.

The South China Morning Post recently broadcast a report about China attempting to deploy an acoustic device in the Arctic after successfully testing and evaluating its underwater listening device.

The report cites a study published in the Chinese Journal of Polar Research which says: “Acoustic information collected by planned large-scale listening networks can be used in a variety of applications, including subglacial communication, navigation and positioning, target detection. and reconstruction of marine environmental parameters.”

“That is for scientific purposes, but all such things serve a dual purpose,” said an Indian expert on the Arctic region. Observers of the Arctic region feel that acoustic instruments play an important role in understanding climate change in the Arctic because oceanographic data from the Arctic Ocean, particularly from the deep sea, are scarce.

But the data can also be used to track submarine movements and understand marine ecosystems to chart new routes – both below and above the surface.

The Shanghai-based Polar Research Institute of China is currently conducting research at the poles with several instruments, but most importantly a vector hydrophone with multiple sensors arranged in different orientations to measure pressure and the motion of sound wave particles.

The world above 66 degrees latitude has remained difficult for most of human existence, hindering large-scale trade. Explorers, speculators, and scientists have long believed that a rich treasure trove of resources and shipping routes is hidden beneath the Arctic ice and snow. But deathly cold, debilitating darkness and great distances have hindered any exploitation of the resource.



However, the unknown depths of the North Pole were soon charted, making their navigation a breeze sooner rather than later.

The agency emphasized that because the region is sensitive to climate change, sound pressure data can be used to track whales, seals and other sound-producing sources. The horizontal and vertical vibrations of water particles can help scientists understand ocean conditions such as currents, waves and the ocean floor.

During the test, the Chinese research institute used American communications satellite services. However, China's polar listening network will likely turn to the BeiDou satellite for communications.

Countries around the world are struggling to strengthen their foothold in the polar regions as global warming rapidly melts the polar ice caps, changing the environment drastically. Mutual distrust is driving the world's great powers to increase their civilian and military involvement in the North Pole.

The 10-year Arctic Strategy released by the White House in 2022 calls for deterring increased Russian and Chinese activity in the region.

Russia has since 2013 updated and activated hundreds of Soviet-era bases in the region. The US said that Russia is implementing new air and coastal defense missile systems and upgrading submarines, and increasing military exercises and training operations with a new combat command equivalent to the Arctic.

Russia is far ahead in its goal of strengthening Arctic navigation. It currently has 51 icebreakers compared to five functioning ships in the US. Given that China does not have direct access to the Arctic region, it is highly likely that China's intelligence mission in the North Pole will utilize Russian facilities. (Bayu Pamungkas)

Bukan Sekedar Riset, Cina Pasang Perangkat Akustik Bawah Air Di Samudra Arktik


Dengan dalih melakukan kegiatan penelitian bawah laut, Cina telah melakukan eksplorasi lintas samudra yang jauh dari wilayah teritorialnya. Meski dilakukan di perairan internasional, tak ayal apa yang dilakukan Beijing telah membuat gelisah Amerika Serikat dan sekutunya, yakni terkait upaya intelijen Cina untuk mendeteksi dan memantau pergerakan kapal selam AS.


Setelah usaha penelitian yang dilakukan di samudra Pasifik, Hindia sampai Atlantik, Cina sejak tahun 2021 mulai merambah penelitian bawah laut di ‘halaman belakang’ AS, yakni di samudra Arktik. Sebagai catatan, samudra Arktik, berlokasi di belahan utara bumi dan kebanyakan berada di wilayah Arktik Kutub Utara, yang merupakan samudra terkecil dan terdangkal di antara lima samudra di dunia.


Yang dilakukan Cina di kawasan Kutub Utara adalah menyebarkan apa yang disebut ‘Listening Devices.’ Meski wilayah Cina tak terkait langsung dengan samudra Arktik, tetapi Beijing telah menyatakan niatnya untuk menjadi kekuatan besaaar di Kutub Utara pada tahun 2030. Samudra Arktik sejauh ini berbatasan dengan Rusia, Amerika Serikat, Kanada, Norwegia, dan Denmark – yang disebut sebagai Lingkar Arktik.



South China Morning Post belum lama ini menyiarkan laporan tentang Cina yang berusaha menyebarkan perangkat akustik di Kutub Utara setelah berhasil menguji dan mengevaluasi perangkat pendengar bawah airnya.


Laporan tersebut mengutip sebuah penelitian yang diterbitkan dalam Chinese Journal of Polar Research yang mengatakan: “Informasi akustik yang dikumpulkan oleh jaringan pendengaran berskala besar yang direncanakan dapat digunakan dalam berbagai aplikasi, termasuk komunikasi subglacial, navigasi dan pemosisian, deteksi target. dan rekonstruksi parameter lingkungan laut.”



“Itu untuk tujuan ilmiah, tetapi semua hal semacam itu memiliki tujuan ganda,” kata seorang pakar India di wilayah Arktik. Pengamat wilayah Arktik merasa bahwa perangkat akustik memainkan peran penting dalam memahami perubahan iklim di Arktik karena data oseanografi dari Samudra Arktik, terutama dari laut dalam, sangat langka.


Namun data tersebut juga dapat digunakan untuk melacak pergerakan kapal selam dan memahami ekosistem laut untuk memetakan rute baru – baik di bawah maupun di atas permukaan.


Polar Research Institute of China yang berbasis di Shanghai kini sedang melakukan penelitian di kutub dengan membawa beberapa instrumen, tetapi yang paling penting adalah hidrofon vektor dengan banyak sensor yang diatur dalam orientasi berbeda untuk mengukur tekanan dan gerakan partikel gelombang suara.


Dunia di atas garis lintang 66 derajat tetap sulit untuk sebagian besar keberadaan manusia, menghambat perdagangan skala besar. Penjelajah, spekulan, dan ilmuwan telah lama percaya bahwa harta karun sumber daya yang kaya dan rute pelayaran tersembunyi di bawah es dan salju Arktik. Tapi dingin yang mematikan, kegelapan yang melemahkan dan jarak yang sangat jauh telah menghambat setiap eksploitasi sumber daya.


Namun, kedalaman Kutub Utara yang tidak diketahui segera dipetakan, membuat navigasi mereka menjadi lebih cepat daripada nanti.


Lembaga tersebut menegaskan bahwa karena wilayah tersebut sensitif terhadap perubahan iklim, data tekanan suara dapat digunakan untuk melacak paus, anjing laut, dan sumber penghasil suara lainnya. Getaran horizontal dan vertikal partikel air dapat membantu para ilmuwan memahami kondisi laut seperti arus, gelombang, dan dasar laut.


Selama pengujian, institut peneltian Cina menggunakan layanan satelit komunikasi Amerika. Namun, jaringan pendengar kutub Ciina kemungkinan akan beralih ke satelit BeiDou untuk komunikasi.


Negara-negara di seluruh dunia berjuang untuk memperkuat pijakan mereka di wilayah kutub karena pemanasan global dengan cepat mencairkan lapisan es di kutub, mengubah lingkungan secara drastis. Rasa saling tidak percaya mendorong kekuatan besar dunia untuk meningkatkan keterlibatan sipil dan militer mereka di Kutub Utara.

Strategi Arktik 10 tahun yang dirilis oleh Gedung Putih pada tahun 2022 menyerukan untuk menghalangi peningkatan aktivitas Rusia dan Cina di wilayah tersebut.


Rusia sejak tahun 2013 telah memperbarui dan mengaktifkan ratusan pangkalan era Soviet di wilayah tersebut. AS menyebut bahwa Rusia menerapkan sistem rudal pertahanan udara dan pesisir baru serta meningkatkan kapal selam, dan meningkatkan latihan militer dan operasi pelatihan dengan komando tempur baru yang setara dengan Arktik.



Rusia jauh di depan dalam tujuannya untuk memperkuat navigasi Arktik. Saat ini memiliki 51 kapal pemecah es dibandingkan dengan lima kapal yang berfungsi di AS. Dengan kondisi Cina yang tak memiliki akses langsung ke kawasan Artktik, besar kemungkinan misi intelijen Cina di Kutub Utara akan memanfaatkan fasilitas milik Rusia. (Bayu Pamungkas)

Tuesday, August 1, 2023

German-supplied IRIS-T SLM Ukrainian Hanud Missile Destroyed by Lancet 3 Kamikaze Drone

Rudal Hanud IRIS-T SLM Ukraina Pasokan Jerman Berhasil Dihancurkan Drone Kamikaze Lancet 3



Satu lagi alutsista ‘mahal’ asal Barat berhasil dihancurkan oleh drone kamikaze Lancet 3. Dari video yang dirilis oleh akun Twitter “Ukraine Weapons Tracker” pada 1 Agustus 2023, terungkap secara jelas bahwa drone kamikaze Rusia berhasil menghancurkan sistem rudal pertahanan udara (hanud) IRIS-T SLM yang dioperasikan Ukraina. Ini adalah konfirmasi pertama atas hancurnya sistem hanud IRIS-T (InfraRed Imaging System Tail/Thrust Vector-Controlled) Ukraina yang dipasok oleh Jerman.

Mengutip informasi yang diterbitkan oleh Kementerian Pertahanan Jerman, militer Ukraina telah menerima dua unit IRIS-T SLM, berikut radar intai udara TRML-4D, yang mana unit perdananya telah diterima Ukraina pada Oktober 2022. Disebut alutsista mahal, pasalnya harga satu unit rudal IRIS-T SLM ditaksir mencapai US$430.000. Dan pada unit peluncur yang dihancurkan – dalam platfom truk MAN 8×8, terdapat delapan kontainer rudal hanud jarak menengah IRIS-T SLM.

IRIS-T SLM (Surface Launched Medium Range) adalah sistem pertahanan udara yang dikembangkan oleh perusahaan Jerman Diehl Defense. IRIS-T SLM didasarkan pada rudal udara-ke-udara IRIS-T, yang merupakan rudal udara ke udara jarak pendek/menengah berpemandu infrared. IRIS-T dapat melakukan manuver 360 derajat, dan dapat dikendalikan lewat radar.

Varian SLM memungkinkan rudal diluncurkan dari platform berbasis darat, memberikan kemampuan pertahanan udara jarak menengah. Rudal IRIS-T dikenal dengan kemampuan manuver dan akurasinya yang tinggi, menjadikannya senjata yang efektif melawan berbagai sasaran udara termasuk pesawat terbang, helikopter, dan drone.

Sejak diluncurkan oleh konsorsium Eropa yang terdiri dari perusahaan-perusahaan pertahanan dari Jerman, Italia, Norwegia, dan Spanyol, IRIS-T telah mengalami beberapa pengembangan lanjutan, termasuk peningkatan kemampuan sensor dan sistem panduan. Varian terbaru dari rudal ini, IRIS-T SL (Surface Launcher), dirancang untuk diluncurkan dari darat dan telah diperkenalkan oleh Jerman dan Norwegia pada tahun 2019.

IRIS-T SLM menggunakan sistem navigasi inersia dengan dukungan GPS, dengan tautan data radar untuk panduan komando selama fase pendekatan awal. Sementara interference-resistant IR seeker head diaktifkan pada tahap terminal. Pada tahun 2022, tersedia dua varian – IRIS-T SLS (jarak pendek) dengan jangkauan dan ketinggian 12 km dan IRIS-T SLM (jarak menengah) dengan jangkauan 40 km dan ketinggian maksimum 20 km.




Sementara sang penyerang, drone kamikaze Lancet 3, adalah produksi Zala Aero, anak perusahaan dari Kalashnikov Group. Drone kamikaze yang harga per unitnya US$35.000 ini, punya berat maksimum saat tinggal landas 12 kg, termasuk muatan bahan peledak 3 kg – high explosive (HE) atau HE-fragmentation.

Lancet 3 tu dibekali dengan panduan optik-elektronik dan modul panduan TV, yang memungkinkan kontrol atas amunisi selama tahap penerbangan terakhir sebelum menghantam sasarannya. Lancet 3 punya jangkauan terbang maksimum 40 km.

Diklaim Sebagai Decoy
Sementara dari pihak Ukraina menyebut bahwa apa yang diserang Lancet 3 adalah decoy, alias dummy dari sistem rudal IRIS-T SLM. Perdebatan dan diskusi tentang hal ini kemudian meramaikan komentar di jagad media sosial. (Gilang Perdana)

German-supplied IRIS-T SLM Ukrainian Hanud Missile Destroyed by Lancet 3 Kamikaze Drone

Another 'expensive' weaponry system from the West was successfully destroyed by the Kamikaze Lancet 3 drone. From the video released by the Twitter account “Ukraine Weapons Tracker” on August 1, 2023, it is clearly revealed that the Russian kamikaze drone succeeded in destroying the IRIS air defense missile system. -T SLM Ukrainian operated. This is the first confirmation of the destruction of the German-supplied Ukrainian IRIS-T (InfraRed Imaging System Tail/Thrust Vector-Controlled) airborne missile system.

Citing information published by the German Ministry of Defense, the Ukrainian military has received two IRIS-T SLM units, along with the TRML-4D air reconnaissance radar, of which Ukraine received its first unit in October 2022. It is called an expensive defense system, because the price of one IRIS-missile unit T SLM is estimated at US$430,000. And on the launcher units that were destroyed – in the platform of the MAN 8x8 truck, there were eight containers of IRIS-T SLM medium-range missiles.

The IRIS-T SLM (Surface Launched Medium Range) is an air defense system developed by the German company Diehl Defense. The IRIS-T SLM is based on the IRIS-T air-to-air missile, which is an infrared-guided short/medium range air-to-air missile. IRIS-T can perform 360-degree maneuvers, and can be controlled via radar.

The SLM variant allows the missile to be launched from ground-based platforms, providing a medium-range air defense capability. The IRIS-T missile is known for its high maneuverability and accuracy, making it an effective weapon against a variety of aerial targets including airplanes, helicopters and drones.

Since its launch by a European consortium consisting of defense companies from Germany, Italy, Norway and Spain, the IRIS-T has undergone several further developments, including enhanced sensor capabilities and guidance systems. The latest variant of this missile, IRIS-T SL (Surface Launcher), is designed for ground launch and was introduced by Germany and Norway in 2019.

The IRIS-T SLM uses an inertial navigation system with GPS support, with a radar data link for command guidance during the initial approach phase. Meanwhile, interference-resistant IR seeker heads are activated at the terminal stage. In 2022, two variants will be available – IRIS-T SLS (short range) with a range and altitude of 12 km and IRIS-T SLM (medium range) with a range of 40 km and a maximum altitude of 20 km.

Meanwhile, the attacker, the Kamikaze Lancet 3 drone, is the production of Zala Aero, a subsidiary of the Kalashnikov Group. The kamikaze drone, which costs US$35,000 per unit, has a maximum weight at take-off of 12 kg, including a 3 kg explosive payload – high explosive (HE) or HE-fragmentation.

The Lancet 3 tu is equipped with an optical-electronic guidance and TV guidance module, which allows control of the ammunition during the last stage of flight before hitting its target. Lancet 3 has a maximum flight range of 40 km.

Claimed As Decoy
Meanwhile, the Ukrainian side said that what was attacked by the Lancet 3 was a decoy, aka dummy, from the IRIS-T SLM missile system. Debate and discussion about this then enlivened comments on the social media universe. (Glang Prime)

Urgent! US Army Infantry Need LASSO – Kamikaze Tank Destroyer Drones

 Urgent! Infanteri Angkatan Darat AS Butuh LASSO – Drone Kamikaze Penghancur Tank



Berita Matra Darat, Berita Update Alutsista, Drone, Drone Kamikaze.

Buntut dari perang di Ukraina rupanya telah memaksa Angkatan Darat AS (US Army) untuk mengembangkan jenis senjata baru untuk infanteri. Tidak itu saja, ada permintaan khusus bahwa jenis senjata ini harus cepat dapat diimplementasi, yakni harus sudah ada di tangan prajurit pada tahun 2024. Mencermikan situasi yang mendesak pada kelompok senjata anti tank.

Program Executive Office Soldier (PEO Soldier) di bawah US Army, pada bulan ini telah mengumumkan jenis senjata yang disebut LASSO (Low Altitude Stalking and Strike Ordnance), yakni berupa drone kamikaze yang dirancang khusus sebagai penghancur tank.

Persisnya, LASSO adalah jenis senjata portable untuk infanteri yang ide dasarnya bercermin pada kasus yang terjadi pada perang Rusia-Ukraina.



Seperti halnya drone Switchblade, sistem LASSO dapat dibawa oleh seorang prajurit. Komponen LASSO terdiri dari tabung peluncur, drone dengan payload yang mematikan, fire control station, termasuk electrical optical/infrared sensor, precision flight control yang mendukung kemampuan untuk terbang, melacak dan melibatkan target non-line-of-sight dengan serangan mematikan yang berpresisi tinggi.


Rencananya, LASSO akan melengkapi senjata di Infantry Brigade Combat Teams (IBCT). Sejauh ini belum ada informasi tentang kemampuan drone kamikaze LASSO ini, tentu menjadi pertanyaan seberapa jauh jangkauan drone ini, kecepatan, propulsi, berat dan hulu ledaknya. (Gilang Perdana)

Urgent! US Army Infantry Need LASSO – Kamikaze Tank Destroyer Drones

Ground Forces News, Updates on Defense Equipment, Drones, Kamikaze Drones.

The aftermath of the war in Ukraine has apparently forced the US Army (US Army) to develop new types of weapons for infantry. Not only that, there is a special request that this type of weapon must be implemented quickly, namely it must be in the hands of soldiers by 2024. Reflecting the urgent situation in the anti-tank weapon group.

The Executive Office Soldier (PEO Soldier) program under the US Army, this month announced a type of weapon called LASSO (Low Altitude Stalking and Strike Ordnance), which is a kamikaze drone specially designed as a tank destroyer.

To be precise, LASSO is a type of portable weapon for infantry whose basic idea is reflected in the case that occurred in the Russian-Ukrainian war.

As with the Switchblade drone, the LASSO system can be carried by a single soldier. LASSO components consist of launcher tubes, drones with lethal payloads, fire control stations, including electrical optical/infrared sensors, precision flight control that supports the ability to fly, track and engage non-line-of-sight targets with high-precision lethal attacks. .

The plan is for LASSO to equip weapons in the Infantry Brigade Combat Teams (IBCT). So far there is no information about the capabilities of this LASSO kamikaze drone, of course the question is how far this drone can reach, its speed, propulsion, weight and warhead. (Glang Prime)

Kim Jong Un Shows Off ICBM Missiles To Russian Defense Minister, "Nuclear Trio" Solid Against Washington

 Kim Jong Un Pamer Rudal ICBM Ke Menhan Rusia, “Trio Nuklir” Solid Hadapi Washington





Untuk pertama kali sejak bubarnya Uni Soviet, Menteri Pertahanan Rusia melakukan lawatan ke Korea Utara. Menjadikan kunjungan Menteri Pertahanan Rusia Sergei Shoigu, begitu strategis di tengah bangkitnya “Perang Dingin Jilid Kedua”. Dengan didampingi delegasi pertahanan dari Cina, Shoigu secara khusus diajak untuk melihat tur rudal balistik antarbenua (ICBM) oleh Pemimpin Tertinggi Korea Utara, Kim Jong Un.

Dengan bangga dan percaya diri, Kim Jong Un memamerkan rudal balistik yang dilarang oleh PBB kepada Shoigu. Tur rudal balistik di Pyongyang (27/7/2023), juga dapat dimaknai lain oleh para analis, yakni menunjukkan bahwa Rusia sekarang telah menerima program nuklir Korea Utara.

Perjalanan Sergei Shoigu bertepatan dengan peringatan 70 tahun berakhirnya Perang Korea, yang disebut di Pyongyang sebagai Hari Kemenangan. Pejabat China juga menjadi bagian dari delegasi dalam tur rudal balisitik, menjadikan kunjungan ini yang terkemuka pertama ke negara terisolasi itu sejak pandemi Covid-19.


Beberapa rudal Korea Utara dilarang di bawah resolusi Dewan Keamanan PBB yang awalnya diadopsi dengan dukungan veto dari Cina dan Rusia.


Terkait dengan lawatan Menhan Rusia, kabarnya Kim Jong Un diberi surat dari Presiden Rusia Vladimir Putin – dan menurut media pemerintah, Kim “berulang kali mengungkapkan keyakinan bahwa tentara dan rakyat Rusia akan mencapai kesuksesan besar dalam perjuangan membangun negara yang kuat.”




Sementara kantor berita Korea Utara – KCNA tidak secara eksplisit merujuk pada perang di Ukraina, namun, Menteri Pertahanan Korea Utara Kang Sun Nam dilaporkan mengatakan dia sepenuhnya mendukung “pertempuran untuk keadilan” Moskow.





Korea Utara memiliki beberapa jenis rudal balistik yang telah dilarang oleh Resolusi Dewan Keamanan PBB karena melanggar larangan pengembangan, uji coba, dan penyebaran senjata nuklir dan rudal balistik.


Satu dari rudal balistik yang dilarang adalah “Hwasong-15,” yang merupakan rudal balistik antar benua (ICBM) yang diluncurkan oleh Korea Utara pada tanggal 28 November 2017. Pada saat pengujian tersebut, rudal ini mencapai ketinggian sekitar 4.475 kilometer (2.780 mil) dan menempuh jarak sekitar 960 kilometer (600 mil) sebelum jatuh di laut di dekat perbatasan Korea Utara dan Jepang. Pengujian Hwasong-15 tersebut menunjukkan bahwa rudal ini memiliki jangkauan yang cukup untuk mencapai bagian daratan Amerika Serikat.


Yang menarik dan juga bakal menjadi perthatian Washington, adalah kesepatan ketiga negara trio nuklir untuk meningkatkan hubungan kerja sama pertahanan, yang mana kepentingan antara Rusia, Cina dan Korea Utara dipersatukan oleh persaingan dan konflik yang terjadi dengan Amerika Serikat dan sekutunya.


Selain Hwasong-15, Korea Utara telah melakukan pengujian berbagai jenis rudal balistik lainnya, termasuk rudal balistik jarak menengah (MRBM) seperti Hwasong-12 dan Hwasong-14, serta rudal balistik yang dapat diluncurkan dari kapal selam (SLBM) seperti Pukguksong-1 dan Pukguksong-2.


Pengujian dan pengembangan rudal balistik ini bertentangan dengan resolusi-resolusi Dewan Keamanan PBB yang melarang Korea Utara dari melakukan aktivitas terkait senjata nuklir dan rudal balistik. PBB telah memberlakukan serangkaian sanksi ekonomi terhadap Korea Utara sebagai respons atas pelanggaran tersebut, dengan tujuan untuk mendorong negara tersebut untuk menghentikan program senjata nuklir dan balistiknya. (Bayu Pamungkas)

Kim Jong Un Shows Off ICBM Missiles To Russian Defense Minister, "Nuclear Trio" Solid Against Washington

indomilitary| 28/07/2023

For the first time since the dissolution of the Soviet Union, the Russian Minister of Defense made a visit to North Korea. Making the visit of the Minister of Defense of Russia Sergei Shoigu so strategic in the midst of the rise of the "Second Cold War". Accompanied by a defense delegation from China, Shoigu was specially invited to see an intercontinental ballistic missile (ICBM) tour by North Korea's Supreme Leader, Kim Jong Un.

With pride and confidence, Kim Jong Un showed Shoigu the ballistic missiles banned by the United Nations. The ballistic missile tour in Pyongyang (27/7/2023), can also be interpreted differently by analysts, namely that it shows that Russia has now accepted North Korea's nuclear program.

Sergei Shoigu's trip coincided with the 70th anniversary of the end of the Korean War, which is known in Pyongyang as Victory Day. Chinese officials were also part of the delegation on the ballistic missile tour, making this the first notable visit to the isolated country since the Covid-19 pandemic.

Some of North Korea's missiles are banned under a UN Security Council resolution that was initially adopted with veto support from China and Russia.

In light of the Russian Defense Minister's visit, it is reported that Kim Jong Un was given a letter from Russian President Vladimir Putin – and according to state media, Kim "has repeatedly expressed confidence that the Russian army and people will achieve great success in the struggle to build a strong nation."

While North Korea's KCNA news agency did not explicitly refer to the war in Ukraine, however, North Korean Defense Minister Kang Sun Nam reportedly said he fully supports Moscow's "fight for justice".

North Korea possesses several types of ballistic missiles which have been banned by UN Security Council Resolutions for violating a ban on the development, testing and deployment of nuclear weapons and ballistic missiles.

One of the ballistic missiles banned is the “Hwasong-15,” which is an intercontinental ballistic missile (ICBM) launched by North Korea on November 28, 2017. At the time of the test, the missile reached an altitude of approximately 4,475 kilometers (2,780 miles) and traveled about 960 kilometers (600 miles) before crashing into the sea near the North Korean and Japanese borders. Tests of the Hwasong-15 showed that the missile has sufficient range to reach parts of the mainland United States.

What is interesting, and which will also be of concern to Washington, is the agreement between the three nuclear trio countries to enhance defense cooperation relations, in which the interests of Russia, China and North Korea are united by competition and conflict with the United States and its allies.

In addition to the Hwasong-15, North Korea has conducted tests of various other types of ballistic missiles, including medium-range ballistic missiles (MRBMs) such as the Hwasong-12 and Hwasong-14, as well as submarine-launched ballistic missiles (SLBMs) such as the Pukguksong-1 and Pukguksong-2.

The testing and development of these ballistic missiles contravenes UN Security Council resolutions that prohibit North Korea from conducting activities related to nuclear weapons and ballistic missiles. The United Nations has imposed a series of economic sanctions on North Korea in response to the violations, with the aim of encouraging the country to give up its nuclear and ballistic weapons programs. (Bayu Pamungkas)

French Arms Exports Break Records in History, Rafale Sales Become 'Key'

 Ekspor Senjata Perancis Memecahkan Rekor Dalam Sejarah, Penjualan Rafale Jadi ‘Kunci’



Meletusnya perang Rusia-Ukraina yang dimulai pada 24 Februari 2022, tak pelak menjadi fokus pada industri pertahanan global. Sejak invasi Rusia ke Ukraina, maka dapat diamati secara langsung perubahan strategi anggaran pertahanan di banyak negara, terutama di negara-negara Eropa yang panik terimbas perang.

Dan terkait industri pertahanan yang kebagian ‘berkah’ konflik, perang berskala besar ditandai dengan panen kontrak bernilai tinggi untuk beragam segmen persenjataan. Dan belum lama ini, ada kabar dari Perancis, bahwa Negeri Eiffel pada akhir tahun 2022, telah memecahkan rekor kontrak ekspor senjata terbesar dalam sejarah.


Dikutip dari rfi.fr (26/7/2023), disebutkan di sepanjang tahun 2022, ekspor senjata Perancis mencapai 27 miliar euro (US$30 miliar). “Nilai tersebut naik dari 11,7 miliar euro pada tahun 2021,” kata Kementerian Pertahanan Perancis dalam laporan tahunannya kepada parlemen. Yang menarik untuk dicermati, porsi nilai ekspor terbesar disumbang oleh kinerja penjualan Dassault Aviation.





Dassault Aviation di sepanjang tahun 2022 berhasil meraih kontrak ekspor jet tempur Rafale hampir US$18 miliar. Pada Desember 2021, Uni Emirat Arab memesan 80 unit jet tempur Rafale F4, dan selama tahun 2022, penjualan Rafale membawa Perancis maraih kontrak 16 miliar euro ($18 miliar), atau hampir empat kali lipat dari total ekspor di tahun 2021, yang hanya berjumlah 4,4 miliar euro ($4,84 miliar).

Sementara Indonesia memesan enam Rafale untuk batch pertama, seperti yang dilakukan Yunani, semakin memperkuat kesuksesan global pesawat tempur buatan Dassault Aviation itu. Sejak itu, India telah menandatangani nota kesepahaman untuk 26 unit Rafale-M untuk penggunaan angkatan laut, setelah 36 unit Rafale dikirimkan untuk angkatan udaranya.

Yunani tahun lalu juga memesan tiga frigat ke Perancis, dan menandatangani kontrak pemeliharaan dan persenjataan terkait. Di segmen satelit, Polandia pada bulan Desember 2022 juga setuju untuk membeli dua satelit militer ke Prancis.


“Prestasi ekspor persenjataan Perancis berhasil dilalui oleh Rafale,” kata Menteri Pertahanan Sebastien Lecornu dalam laporan kepada parlemen. Rekor ekspor senjata Perancis dikaitkan dengan pengeluaran militer global yang lebih tinggi dari titik mana pun dalam tiga dekade terakhir.


Menurut Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI), pengeluaran militer di seluruh dunia pada tahun 2022—tahun ketika Rusia menyerang Ukraina—mencapai US$2,24 triliun, mewakili 2,2 persen dari produk domestik bruto dunia.



Hampir dua pertiga ekspor senjata Perancis dikirim ke Timur Tengah, sekitar 23 persen ke Eropa dan delapan persen ke Asia dan Oseania. Pelanggan senjata terbesar Perancis antara 2013 dan 2022 adalah UEA, Mesir, Qatar, India, Arab Saudi, dan Yunani. (Gilang Perdana)

French Arms Exports Break Records in History, Rafale Sales Become 'Key'

indomilitary| 31/07/2023 | Air Force News, Updates on Defense Equipment, From the Combat Room, Combat Jets | 4 Comments

The outbreak of the Russian-Ukrainian war which began on February 24, 2022, inevitably became the focus of the global defense industry. Since Russia's invasion of Ukraine, changes in defense budget strategy can be observed directly in many countries, especially in European countries which are panicking as a result of war.

And regarding the defense industry which has received the 'blessing' of conflict, large-scale wars are marked by harvesting high-value contracts for various segments of armaments. And recently, there was news from France, that the Land of Eiffel at the end of 2022, had broken the record for the largest arms export contract in history.

Quoted from rfi.fr (26/7/2023), it is stated that throughout 2022, French arms exports will reach 27 billion euros (US$30 billion). "This value is up from 11.7 billion euros in 2021," the French Ministry of Defense said in its annual report to parliament. What is interesting to note is that Dassault Aviation's sales performance contributed the largest portion of the export value.

Throughout 2022, Dassault Aviation won an export contract for Rafale fighter jets of almost US $ 18 billion. In December 2021, the United Arab Emirates ordered 80 Rafale F4 fighter jets, and during 2022, the sale of the Rafale brought France a 16 billion euro ($18 billion) contract, or nearly four times the total exports in 2021, which amounted to only 4 .4 billion euros ($4.84 billion).

Meanwhile, Indonesia ordered six Rafales for the first batch, as did Greece, further strengthening the global success of the fighter made by Dassault Aviation. Since then, India has signed a memorandum of understanding for 26 Rafale-M units for naval use, after which 36 Rafale units were delivered to its air force.

Greece last year also ordered three frigates to France, and signed a related maintenance and armament contract. In the satellite segment, Poland in December 2022 also agreed to buy two military satellites to France.

"The achievement of French arms exports was successfully passed by the Rafale," Defense Minister Sebastien Lecornu said in a report to parliament. France's record arms exports have been linked to higher global military spending than at any point in the last three decades.

According to the Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI), worldwide military spending in 2022, the year Russia attacked Ukraine, will reach US$2.24 trillion, representing 2.2 percent of the world's gross domestic product.

Nearly two-thirds of French arms exports go to the Middle East, about 23 percent to Europe and 8 percent to Asia and Oceania. France's largest arms customers between 2013 and 2022 will be the UAE, Egypt, Qatar, India, Saudi Arabia and Greece. (Glang Prime)